Baca Novel Romantis


Berikut merupakan sambungan dari novel Tidur Bersama Hujan. Dalam Bab 2 ini saya bagi menjadi 3 bagian untuk mempermudah pembaca dalam menikmat Novel Romantis ini. Baca Novel Online secara gratis dan jangan lupa ya untuk dibagikan di sosial media. Ingat berbagi itu bisa menambah pahala juga.


Baca Novel Online Terfavorit


Semoga novel Tidur Bersama Hujan bisa menjadi pengantar tidurmu di malam hari atau juga bisa menjadi hiburan gratismu diwaktu luang. Selamat menikmati sambungan dari BAB 1 Galau


Aku ingin berhenti sampai di sini tapi diriku tidak dapat menemukan damai yang selama ini kucari. Aku ingin menghapus dia dari pikiranku, tapi bayangannya masih menerangi di setiap kegelapanku. 

Aku hendak meneruskan perjuangan cintaku tapi diriku tidak kuat lagi menahan rasa perih dari hatiku yang merintih.

Aku sedari keegoanku selama ini yang hanya peduli apa yang aku mau namun tidak pernah mempedulikan yang dia inginkan. 

Jika aku terus memaksanya untuk kembali, artinya diriku ini begitu egois dan sudah lari jauh dari makna cinta yang hakiki, yang mampu memahami yang dicintai dalam setiap keadaannya. 

Dia hendak pergi dari kehidupanku maka aku harus ikhlas atas kepergiannya. Biarlah diriku bersedih meratapi kepergiannya karena aku percaya bahwa kesedihan adalah awal kebahagiaan dan kebahagiaan yang dapat aku rasakan adalah mampu mentafsir makna cinta yang sesunguhnya, memahami dalam setiap keadaannya.

Ketika kau kehilangan seseorang yang begitu berarti maka setiap hari, buatlah sesuatu yang bisa membuat kau benar-benar merasakan hidup.



Di kota Singapura, aku lebih banyak menghabiskan waktu di perpustakaan yang berlokasi tidak jauh dari sekolahku, di Jurong East. 

Perpustakaan buka pada pukul 9.00 pagi dan tutup pukul 9.30 malam. Memiliki 5 tingkat; tingkat B1 yang letaknya di bawah tanah khusus ruangan anak-anak, lantai 1 untuk surat khabar dan majalah yang bersambungan langsung dengan kantinnya. 

Lantai 2 dan 3 untuk buku-buku pengetahuan umum yang bagian kiri dan kanannya dilengkapi dengan area untuk belajar. 

Lantai 4 khusus untuk bacaan remaja seperti komik dan majalah remaja. 

Senantiasanya, aku akan berada di lantai 3 karena di situ ada meja dan kursi yang membuat aku merasa nyaman saat mengulang kaji mata pelajaran favorit atau pun membaca novel-novel Inggris untuk meningkatkan kemampuanku di dalam berbahasa Inggris.

Tidak terasa sudah 10 jam waktu kuhabiskan di perpustakaan. Sekitar setengah jam lagi akan ditutup, kini aku tengah bersiap-siap untuk memulangkan kembali buku-buku yang tadi kupinjam.


Bus dan MRT adalah trasportasi umum yang aku gunakan untuk kembali ke rumah yang berlokasi di Jurong West Blok 706. Aku harus melewati 2 stasiun MRT untuk sampai di stasiun MRT Boonlay yang letaknya bersebelahan dengan Terminal Bus Boonlay dan dari terminal bus aku perlu menunggu bus 145 yang akan berhenti tepat di depan blok 706. 

Aku sedang menaiki bus 145 menuju ke rumah, mataku sudah melihat perhentian bus di mana aku harus berhenti di situ dan segera ku tekan tombol berwarna kuning yang akan membunyikan suatu bunyi khas sebagai isyarat kepada pengemudi bus untuk menghentikan busnya.

Berbagai perasaan yang tidak menyenangkan sudah mulai bereaksi. Gelisah, resah dan gundah yang kurasakan apabila hendak masuk ke dalam rumah yang di dalamnya ada Kak Serin yang senantiasa menyerang kedamaian hati. 

Beberapa langkah lagi, aku akan berdiri di depan pintu rumah dan perasaan yang tidak menyenangkan kian menerangi pikiranku dan semakin mengganggu hatiku.

Tuk, tuk, tuk…

Aku memang tidak memegang kunci rumah karena Kak Serin melarangku untuk memilikinya walaupun aku sudah berusaha memujuk hatinya namun dia masih keras kepala untuk tidak membolehkan aku membawa kunci rumah apabila keluar. Semua ini disebabkan perubahan Kak Serin yang sampai kini aku masih belum tahu penyebabnya.

Tuk, tuk, tuk… 

Ku ketuk pintu rumah sedikit lebih kuat namun masih belum ada jawabannya. Jantungku berdegup kencang karena aku takut kalau-kalau sesuatu yang tidak baik terjadi kepada Kak Serin. 

Bell rumah dalam keadaan rusak sehingga aku harus mengetuk pintu dengan lebih bersemangat lagi, kuketuk berulang-ulang kali sehingga aku merasa lelah, namun masih belum juga mendapatkan jawabannya. 

Mungkin, Kak Serin sedang berada di luar, aku menghubungi handphonenya, namun masih tidak dihiraukannya. Pengalaman sebegini memang sudah biasa aku alami, beginilah caranya untuk aku masuk ke dalam rumah. Aku harus menjerit senyaring-nyaringnya dan mengetuk pintu sekuat-kuatnya dan setelah aku lelah dan hampir berputus asa dan cukup tersiksa baru pintu yang ada di hadapanku akan dibuka olehnya.


Malam ini terasa sangat berbeda dengan yang sebelumnya. Walaupun sudah kuperas otot tanganku ini dan kukerah kerongkonganku namun aku masih belum dapat masuk ke dalam rumah yang aku juga tak tahu apakah ada Kak Serin di dalamnya atau tidak. 

Sudah hampir setengah jam aku berdiri di depan pintu dan kulihat jam dihandphone hampir menunjukkan pukul 11.00 malam.

Kali ini kuintip ke dalam rumah melalui bagian kecil jendela yang tidak tertutup oleh tirainya. Aku melihat lampu di ruang tamu tengah menyala yang artinya Kak Serin ada di dalam karena sudah menjadi lumrah rumah-rumah di sini apabila penghuninya tiada pasti dalam keadaan gelap gulita, tujuannya untuk menghemat biaya listrik yang dirasakan cukup mahal jika lampu-lampu rumah dibiarkan menyala sepanjang hari. 

Kini aku mulai kedinginan. Apalagi posisiku di lantai sepuluh, membuatkan udara yang dingin menjadi lebih dingin maka dengan tekad yang bulat kuketuk pintu rumah sekuat-kuatnya dan selang beberapa minit tanpa berhenti melakukannya barulah kudengar bunyi seseorang membuka pintu dari dalam. 

Hatiku sedikit lega tapi belum sepenuhnya karena aku tahu sebentar lagi aku harus berhadapan dengan ketidakwarasan Kak Serin.

Ketika aku hendak membuka sepatu, tiba-tiba pintu itu kembali ditutup dan koper bajuku sudah ada di hadapanku. Aku tidak diberi kesempatan untuk mendengar penjelasannya. Mengapa malam ini aku diusir?

Aku sama sekali belum siap menerima cobaan ini, padahal baru saja aku berusaha untuk mendamaikan hati dari badai cinta, tapi kini datang lagi badai  dari arah yang berbeda dan bahkah lebih menyakitkan. 

Cobaan ini terlalu berat kurasakan sendirian. Andai saja dia masih bersamaku sudah pasti aku takkan selemah ini, karena didampingi kekasih yang setia menemani dalam berbagai kesulitan, akan memberikan tenaga dan kemampuan tambahan dalam menghadapi berbagai masalah kehidupan.

Malam ini, aku terpaksa tidur di luar, bertemankan angin malam yang dingin atau mungkin bertemankan air hujan yang selalu datang bertandang waktu tengah malam. 

Sekarang sedang musim hujan!


Kuayunkan kaki-kakiku dengan sisa-sisa semangat yang ada, semangat untuk menamatkan pendidikanku di kota Singapura. Semangat untuk sebuah mimpi abadi yang telah aku jadikan tujuan hidupku selama ini. Menjadi wanita bisnis itu adalah mimpiku.

Aku kuat karenanya. Ternyata mimpi mampu menjadikan kita seperti terumbu karang yang tetap berdiri hebat walaupun diterjang ombak, diterpa badai atau seperti matahari yang tidak pernah mengerang walaupun sudah jutaan tahun tanpa berhenti membakar tubuhnya demi tujuan hidupya dalam menerangi bumi dan seantero jagat raya.

Selagi mimpi masih bersemayam di hati, niscaya tiada keluhan saat menjalani masa-masa sulit karena mimpi menyimpan berjuta harapan dan harapan adalah alasan mengapa kita ingin meneruskan hidup.

Kulihat jam dihandphone belum pukul 12.00 malam yang artinya masih ada bus yang boleh membawaku pergi jauh dari rumah kak Serin karena aku tak mau Kak Serin melihatku atau pun sebaliknya. Entahlah, aku merasa tidak nyaman ketika berada di sampingnya apalagi harus bersamanya.

Bus yang membawaku, berhenti di Terminal Bus Boonlay. Aku tidak tahu hendak ke mana kaki ini membawa tubuh yang sedang merasakan keletihan luar biasa, bukan saja ragaku yang lelah namun juga jiwaku tersiksa oleh berbagai perasaan yang tidak mendamaikan.

Kini, aku duduk di sebuah taman mini yang kedudukannya di tengah-tengah antara Jurong Point Mall dengan Stasiun MRT Boonlay. Aku hanya ada dua pilihan yang mungkin boleh menyelamatkanku dari tidur bersama hujan. 

Pilihan pertama menumpang tidur di rumah Kak Eli yang rumahnya boleh kutuju dengan berjalan kaki dan pilihan kedua di rumah Kak Eni yang kediamannya di Sembawang dan aku harus menempuhnya dengan MRT. 

Aku memilih untuk meneruskan perjalanan ke rumah Kak Eli dengan berjalan kaki sembari membawa koper hitam yang lumayan besar.

“Bersediakah Kak Eli membantuku setelah dia, suaminya dan ibu mertuanya menuduhku sekeluarga telah mendukuni mereka?”

“Sudah pasti Kak Eli akan menolongku karena aku adiknya.”

Dari Jurong Point Mall ke rumah Kak Eli, aku berjalan kaki sambil mengheret koper bajuku yang setinggi lutut. Berjalan kaki di kota sungguhlah asyik. Jika di kota, jalannya terasa lapang dan nyaman dengan pemandangan sekeliling merupakan bangunan-bangunan bertingkat yang tersusun rapi, meskipun jarak yang akan ditempuh jauh tapi terasa dekat.


Sementara di kampung, dengan jalannya yang sempit dan kadang becak setelah hujan, kiri dan kanan jalan dipenuhi semak-semak belukar maka perjalanan yang jauh akan terasa melelahkan. Alasan itulah yang membuatku lebih suka berjalan kaki di kota Singapura.

Aku berjalan beberapa langkah menuju pintu lift. Pintu lift sedang menganga, aku pun masuk sambil menekan nomor 4. Selang beberapa saat, pintu lift kembali terbuka. Aku hanya berdiam diri di tempat sambil membayangkan apa yang akan terjadi jika aku bertamu pada waktu tengah malam dalam keadaanku yang bermasalah. 

Kak Eli sudah tentu tidak merasa terganggu tapi bagaimana dengan suaminya? Kejadian tempoh hari sudah jelas dan terang bahwa kehadiranku sekeluarga tidak diinginkan dan bayangan-bayangan buruk itu sudah memuncak lalu menghalangiku untuk keluar dari lift dan membiarkan pintu lift tertutup kembali.

Tidak ada lagi pilihan melainkan tidur bersama hujan. Aku berharap malam ini hujan tidak turun seperti malam-malam sebelumnya.

Di sekitar blok Kak Eli, ada dua taman permainan yang  saling berdekatan. Taman permainan yang pertama berlokasi tepat dibelakang blok Kak Eli. Suasananya agak suram dan tidak ada tempat yang nyaman untuk tidur.


Aku meninggalkannya lalu mendekati taman permainan yang kedua. Suasana di sana lumayan terang karena dikelilingi oleh bangunan-bangunan bertingkat dan ada seperti rumah-rumahan yang beratap. Di dalam rumah-rumahan inilah kisah tidur bersama hujan itu dimulai.

Bersambung, atau kembali ke daftar isi