Cerita Cinta Penuh Romantisme

Perjalanan cerita cinta Miu belum selesai, masih banyak lagi kejutan-kejutan yang akan disuguhkan penulis dalam Bab 3 Bagian 2 dalam postingan berikut. Tidak berlebihan bukan, jika kita melabelkan novel ini sebagai sebuah kisah cinta yang romantis?

Cerita Cinta Romantis

Cerita Cinta Romantis Bersambung


Yuk kita baca novelnya sama-sama dan jangan lupa tekan tombol sharenya sebagai penutup cerita. Selamat membaca!

Kata-katanya tadi membuat aku tertawa. Kututup mulutku dengan tangan agar tawaku tidak terlihat berlebihan dalam suasana yang masih syahdu.

“I love it so much,” balasku dengan bersemangat agar semangatku itu menular ke dirinya.

“Girls, jom kita balik sekarang sudah tengah malam, esok pagi aku kena pergi kerja,” ucap Danil sembari melihat jam tangannya.

“What time is it now?” tanya Bahia.

“11.33pm,” jawapan Danil menjadikan perasaanku tak menentu mengingat kalau malam ini aku akan tidur di sekitar Stasiun MRT Redhill karena aku tak mungkin kembali ke Boonlay karena MRT telah berhenti beroperasi. 

Aku tidak terbiasa dengan tempat ini jadi sudah pasti malam ini aku tidak dapat tidur lena. Mungkin ini adalah sebuah pengorbanan untuk aku menemukan sahabat seperti mereka, jadi aku harus kuat dalam menghadapinya. 

Ekspresi wajahku berubah murung tapi dengan cepat ku ubah sebelum mereka melihatnya. Bahia melanjutkan kembali kalimatnya.

“Actually, aku malas nak balik ke rumahlah, so apa kata kalau kita over night kat sini?” 

“I can’t coz I got to work on tomorrow morning,” 

“Danil, kau boleh pergi kerja dari sini, apa? Kau kan kerja pukul 8am, so pagi pagi kita cabutlah, rumah kau pun tak jauh dari sini kau boleh ambil first bus from here, kira-kira pukul 6am,” Bahia masih belum menyerah. Danil diam sejenak sambil menatapku.

“Habis, macam mana dengan Miu? Sebab esok dia pun nak sekolah. Miu kau tinggal di mana?”

  “Aku tinggal di Sembawang dan esok aku tak pergi sekolah sebab Saturday,” tak mungkin aku berkata jujur kepada mereka bahwa aku tidak punya tempat tinggal, tapi raut di wajahku sudah mampu menjelaskan bahwa aku setuju dengan ide Bahia untuk bergadang hingga pagi di Redhill.

“That’s mean, dah tak ada train pun sebab sudah lebih pukul 11 malam. Kalau kita orang boleh naik bus habis Miu nak naik apa? So, Danil, tak akanlah kau nak biarkan dia duduk seorang kat sini. Kau tak kesian ke?” Argumen Bahia sedikit menyenangkan suasana hatiku. Danil kembali menatap wajahku dan kali ini aku sudah tak dapat sembunyikan ekspresi wajahku yang mengharapkan simpatinya.

“Danil, sampai hati kau biarkan perempuan-perempuan cantik berada di luar, kalau something happen to us kau juga nanti yang menyesal,” Danil tersenyum kecil dan senyumannya itu menenangkan hati ini.

“Okey, tapi dengan satu syarat, aku tak boleh temankan korang berbual sampai pagi, so aku kena tidur awal.”

“Okay fine,” balas kami tersenyum riang. Rasanya aku seperti baru keluar dari ruang yang sempit tak bercahaya.

Posisi kami tak jauh dari Stasiun, di sebelah kanannya adalah tanah lapang yang dijadikan sebagai parkiran dan beberapa meter di sebelah kirinya adalah jalan raya. Kami berjalan menuju ke arah parkiran setelah itu melewati padang rumput dengan semak-semak belukar tapi masih ada jalan kecil yang tidak beraspal. Danil mengheret koper pakaianku tanpa meminta izinku terlebih dulu. Aku merasa tak nyaman karena membiarkannya membawa beg pakaian buruk itu sehingga aku berusaha untuk mencegahnya.

“Danil, tak apalah biar aku aja yang bawa.” 

“It’s okay,” dia tersenyum. Aku merasa sangat bersalah karena sudah membiarkannya membawa koper buruk itu namun senyumannya tadi mengurangkan rasa bersalahku.

“Miss universe, tak apa biar dia yang bawa sebab itu sudah kerja dia membantu perempuan-perempuan cantik,” kutertawa panjang. 

Suasananya agak gelap dan menjadi lebih gelap lagi ketika kami berada di tengah-tengahnya, di antara parkiran yang tadi kami lewati dengan jalan raya yang posisinya berada di depan kami. Setelah berjalan kira-kira 20 meter kami sudah berada di sisi jalan raya kemudian kami menaiki jambatan untuk menyeberangi jalan raya tersebut. Tidak ada orang lain yang sedang menyeberanginya melainkan hanya kami bertiga. 

Aku ingin hidup seperti mereka, bebas, berani dan tidak berusaha untuk hidup sempurna, hidup apa adanya. Aku memang patut seperti mereka, merasa merdeka agar pikiranku menjadi lebih terbuka dengan hal-hal yang segar sehingga kelak aku menjadi lebih kreatif dan itu sangat bagus buat masa depanku nanti.

Kami sudah sampai di persimpangan. Sekarang sedang menunggu lampu penyebarangan itu menyala agar kami boleh menyeberanginya dengan selamat. Suasana di jalan raya sepi dari kenderaan, kalau ada pun hanya dua atau tiga kenderaan yang berlalu lalang. Kuhentikan langkah ini sementara Danil dan Bahia terus berjalan tanpa harus menunggu lampu isyarat tersebut menyala dan mereka terus menyeberang sambil memperhatikan kenderaan yang datang dari arah kiri. Aku pun mengikuti mereka dari belakang. Kali ini aku tidak perlu berkomentar tentang mereka bahkan aku berusaha untuk beradaptasi cara hidup mereka yang kupikir sangat menarik dan sangat berbeda dengan cara hidupku yang berusaha untuk sempurna tapi sebenarnya membosankan.

“Pertama kali menyeberang tanpa menunggu lampu isyarat menyala hijau?” diam-diam si tampan angkuh itu juga memperhatikanku.

“Hidup kurang nikmat kalau sepenuhnya patuh dengan peraturan, betul tak?” Danil memecah kesunyian malam.

“Tapi, bukankah peraturan yang membuat hidup kita menjadi teratur?” syukurlah rasa gugup aku sudah boleh diatasi. Pertanyaan Danil kutanggapi dengan pertanyaan agar percakapan kami berlanjut panjang. Itulah tujuanku!

“You are right, but pada masa yang sama peraturan juga membatasi hak kebebasan kita, so kalau kau tak merasa bebas, apakah kau boleh bahagia?”

“Tidak, aku tak akan bahagia kalau aku tidak merasa bebas,” kebebasan adalah hal yang aku inginkan, walau terasa dekat namun tak dapat kugapai.

“Jadi?” tanya Danil untuk memancing pikiranku agar sedikit terbuka.

“Tak ada salahnya sekali-sekala melanggar peraturan,” Danil tersenyum kecil dan mulutnya yang kecil menjadikan senyumannya mempesona.

“Apa yang kau tahu tentang kebebasan?” kembali Danil bertanya. Kami masih berjalan santai di belakang Bahia. Di depan akan ada simpang kiri dan kulihat dari jarak sekitar 50 meter ada papan tanda jalan yang bertulisan Henderson Road.

“Aku hanya tahu kebebasan dari sebuah buku,” terkadang aku menggunakan logat Indonesia saat  berbicara dengan Danil karena menurutku logat Danil seperti orang Indonesia, hanya bahasa dan penyampaiannya saja yang sedikit baku.

“Apa yang kau belajar dari buku?” berbicara dengannya terasa aneh karena hanya aku yang menatap matanya saat berbicara. Kurasa itu gayanya dia ketika berbicara dengan orang lain jadi bukan karena dia tidak menghormatiku. Menatap mata seseorang saat berbicara adalah sebuah keberanian yang besar. Aku saja kadang kala berpura-pura mengalihkan pandangan saat matanya yang begitu oriental secara tidak sengaja menatapku.

“Ada enam hal yang paling banyak ditakuti oleh kita dan selagi kita masih takut dengan salah satu atau lebih dari keenam-enamnya, maka selama itu juga kita masih belum bisa merasa bebas.” 

Bahia belok ke kiri menelusuri jalan Henderson dan kami mengikutinya dari belakang, kira-kira dari jarak 2 meter. Sambil berdendangkan lagu-lagu hits 90-an. 


“What are they?” pandangan Danil masih lurus ke depan sementara aku berjalan di sebelah kirinya dan di sebelah kanan kami adalah jalan raya yang menuju ke area pemukiman.

“Pertama takut dengan usia tua, kedua takut dengan kritikan, ketiga takut akan kehilangan cinta seseorang, keempat takut dengan gangguan kesehatan, kelima takut dengan kemiskinan dan yang terakhir takut dengan kematian.”

“Apa yang paling kamu takutkan?” matanya kini bertemu dengan mataku.

Ada sesuatu yang tidak biasa pada pertanyaannya. Suaranya terdengar mempesona dengan nada bicara yang lemah gemulai.

Kami diam sejenak hanya berbicara dengan bahasa mata sampai aku mendengar suara Bahia memanggil dan ketika itulah spontanitasku terwujud.

“Kalau Bahia mesti takut dengan usia tua, kan?” 

Danil tertawa lepas mendengar kata-kataku dan aku pun ikut tertawa.

Aku sempat berpikir tentang rasa humoris yang tiba-tiba muncul ternyata kehadiran mereka yang baru sekejap sudah mampu meghidupkan jiwa humorisku. Entah kejutan-kejutan apalagi yang akan kuciptakan nanti.

Bahia mendekati kami.

“Amboi, dah mesra nampak. Ketawa berdua saja tak ajak pun,” Danil dan aku terus terdiam sambil bertemu mata tapi masih ada tawa yang kami simpan.

“Bahia, di mana tempat yang kau orang cakap aku mesti suka?”

“Oh, sekejap lagi sampailah. Kau tengok kat sana?” 

Bahia menceritakan daya tarik mengenai tempat tersebut. Kami menyeberang jalan yang tidak terlalu lebar dan suasananya juga sepi dari kenderaan. Aku tidak melihat siapa-siapa di sekitar kami, maklum sekarang sudah pukul 1 pagi.

“tempatnya sangat romantis sekali. Aku suka akan tempat yang dikelilingi oleh air karena ia membuat jiwa kita merasa tenang dan damai. Aku harap kau akan menyukainya. Tempat sedemikian sangat langka di kawasan perkotaan. I am sure you going to love it so much.”

Kami bagai sedang berada di sebuah danau syurga dengan rimbunan pohon rawa serta bunga teratai yang mengapung di atas permukaan air. 

Terasa sejuk, tenang dan damai dengan sebagiannya mendapatkan cahaya bulan yang terpantul pada permukaan air di sekitar kami. Jalan yang kami lalui adalah sebuah pelantar kayu yang berwarna coklat dan setiap kira-kira 5 meter akan ada pondok kecil yang tidak berdinding. Di dalam pondok tersebut ada dua kursi panjang yang saling berhadapan dan lantainya seolah-olah menyatu dengan permukaan air bening yang sedang memantulkan cahaya rembulan berwarna keemasan.

Aku duduk di samping Bahia sementara Danil duduk di kursi panjang yang berhadapan dengan kami. 

Bahia yang paling banyak bicaranya. Berbicara tentang sejarah taman yang sedang kami tempati bahkan ia juga berbicara akan masa lalunya yang pahit karena kehilangan seseorang yang ia cintai. Aku lebih banyak mendengar, hanya sesekali menimpalinya dengan pertanyaan. Pahitnya kehilangan itu masih terasa selagi ruang di hati ini masih hampa.

“Dalam hidup ini selalu ada pengganti, bila kita kehilangan dan baik atau buruknya pengganti itu bergantung bagaimana cara kita menanggapi pengganti tersebut. Aku masih ada nenek yang kasih sayangnya tak terhingga untuk ku. Begitu juga dengan abang serta adik perempuan ku yang senantiasa memberi aku sokongan. Kehilangan satu atau dua orang tak bermakna kita kehilangan semua orang yang menyayangi diri kita dan tak bermakna kita juga tak ada keluarga. Kau dan Bahia saja sudah ku anggap sebagai keluarga. Bagiku keluarga bukan saja orang-orang yang ada pertalian darah tapi keluarga ialah orang-orang yang selalu ada untuk kita dalam keadaan kita susah atau dalam keadaan kita senang, mereka selalu ada untuk menyokong kita, melindungi kita dan menyayangi kita.” Giliran Danil yang berbicara.

“Danil, terima kasih banyak sebab sudah sudi bercerita kepada kami. Jawapan yang tadi betul-betul menginspirasi dan sekarang rasanya aku lebih kuat dalam menjalani hidup ini,” balasku

“Miss universe, now is your turn to tell us about your life,” permintaan Bahia menjadikan suasana malam terhindar dari sunyi. 

 “What do you want to know about me?” 

“Anything about you.”

 “Dia adalah cinta pertamaku. Dia juga kekasih pertamaku. Kedatangannya seperti malaikat yang menurunkan hujan untuk ladang-ladang yang hampir sekarat karena kekeringan air. Dia adalah segala-segalanya untukku, Bahia, sampai aku sempat berpikir bahwa dia lebih penting daripada hidupku sendiri. Aku sanggup melakukan apa saja untuk mempertahankannya.”

“Habis tu macam mana kau boleh break-up dengan dia?”
“Aku sendiri tidak mengerti mengapa dia pergi. Dia menghilang begitu saja tanpa sepatah kata.”

 “Life is about making a decision sebab keputusan menyebabkan hidup ini berubah dan apa-apa pun perubahan itu, baik atau buruk ia jauh lebih baik dari hanya menunggu sesuatu terjadi dalam hidup kita. Jika kau masih mencintai dia, perjuangkan cinta itu. Dalam dunia ini tidak ada yang sia-sia, sekecil apapun perjuangan yang kita buat pasti akan ada balasannya. Semakin sakit cinta yang kita rasakan maka akan semakin nikmat rasa cinta itu. Percayalah, aku dah makan garam dengan ini semua,” kata-kata Bahia benar-benar menginspirasi dan kata-kata itu juga sudah cukup menunjukkan kedewasaannya. Sekarang aku mulai berpikir bahwa umur Bahia mungkin sudah melebihi 30- an.

“Andai kata keputusan yang aku ambil ternyata salah?”

“Bagaimana kalau keputusan kau itu betul?” balas Bahia sehingga mengundangku untuk berpikir lebih dalam tentang hidup. Kemudian Bahia melanjutkan kembali kata-kata bijaknya.

“Ertinya belum coba belum tahu dan tak ada satu orang pun yang tahu.”

“Bahia, Kau sudah membuat aku menjadi sedikit lebih berani,” Bahia menyentuh tanganku.

Sudah pukul 3 pagi. Kuperhatikan rumah-rumahan yang sebelumnya di tempati oleh 4 remaja Melayu kini bertambah dua orang dan suasananya tidak semeriah tadi. Percakapan mereka terdengar samar-samar. Hanya dua dari mereka yang sedang berbicara. 

Kembali aku memperhatikan keadaan di sekelilingku dan pandanganku terpaku pada permukaan air yang sedang beriak sejurus kemudian aku mendengar suara desahan air yang berasal dari atap tempat kami berteduh. Ternyata Hujan sedang bertandang.
Udara semakin dingin membuat aku kedinginan. Orang yang bertubuh kurus seperti diriku memang tidak tahan dengan udara yang dingin. Kuambil baju berlengan panjang dari koper bajuku. Sudah pasti Bahia juga kedinginan karena pakaiannya yang serba terbuka. Dan aku menawarkan baju berlengan panjang kepadanya. 

Danil sudah mulai menaruh tubuhnya di atas lantai dan kulihat beberapa kali dia menguap karena sudah tidak tahan akan rasa kantuk. Saatnya Danil berlabuh ke alam mimpi.

Kemudian, diikuti Bahia membaringkan tubuhnya di atas lantai setelah mengenakan baju lengan panjang dariku. Kututup koper itu kembali lalu menaruhnya di atas kursi agar rumahan-rumahan ini terasa lebih luas. 

Luas lantainya sekitar 4 meter persegi dan keberadaan dua bangku panjang yang saling berhadapan pada posisi bawah dan atasnya mengurangkan luasanya jadi ketika Bahia dan Danil menempatinya, luas lantai kian mengecil yang hanya muat untuk satu tubuh orang dewasa yang berukuran kecil sepertiku. 

Pandanganku kembali terpaku pada permukaan air yang beriak karena rintik-rintik hujan, cahaya bulan yang lembut dan suara alam yang berasal dari air hujan memberikanku ketenangan luar biasa, hatiku terasa sejuk sehingga ke ubun-ubun, membangkitkan semangat dan menyegarkan jiwa dan raga. Seperti sedang berekreasi di sebuah danau yang berair tenang.

Aku sudah mulai merasa lelah untuk berpikir dan lelah itu merambat kedua mataku yang dibebani rasa kantuk. Perlahan-lahan aku tenggelam dalam kegelapan dan kesedaranku pun semakin menghilang. Setelah itu, aku tak ingat apa-apa lagi. 

Tiba-tiba, aku mendengar suara seseorang yang sudah tak asing lagi sedang memanggil namaku. “Miu, Miu, Miu,” kubuka mataku ini secara perlahan-pahan. Tempat apakah ini? Tanyaku di dalam hati. Aku berada di suatu tempat yang belum pernah aku jejaki sebelumnya, bahkan belum pernah wujud dalam dunia khayalanku. Di manakah aku berada? Tanahnya berselimutkan daun-daun kering berwarna coklat tua dengan beberapa buah batu besar dan pohon-pohon raksasa yang tumbuh di sekelilingku. Kembali aku mendengar suara itu lagi.

“Miu, Miu, Miu…” syahdunya suara itu seperti ada di sebalik semak belukar yang ada di sebelah kiriku, berjarak kira-kira 7 meter. Aku bergerak mendekatinya dengan berhati-hati. Tanganku sudah mulai menyibaknya supaya dapat masuk ke dalam. 

Aku tidak melihat siapa-siapa namun suara itu kian terdengar jelas dan tubuhku sudah berada di dalam semak-semak itu. Aku bergerak kian dalam menuju ke sumber suara. Aku merasa semakin tidak nyaman, pergerakanku juga menjadi tidak bebas karena terhalang oleh ranting-ranting kering dan dahan-dahan pohon yang bersilangan, daunnya yang lebat membuat pandanganku tidak sempurna dan suasananya menjadi sedikit gelap karena daun-daun itu menghalang sinar matahari untuk masuk ke dalam.

Rasanya aku sudah tidak sabar lagi untuk keluar sehingga sekuat mungkin aku bergerak dengan gerakan tubuh yang tidak bebas. Aku sudah mulai merasa lemas sehingga mendesakku untuk keluar dari tempat ini secepat mungkin. 

Aku terus bergerak dan bergerak tanpa mempedulikan ranting-ranting yang melukaiku dan panduanku adalah suara yang terus memanggilku karena kuyakin suara itu merupakan jalan keluarnya. 

Kakiku terus melangkah ke depan yang ku tak tahu kapan akan berhenti dan ke mana ia akan bermuara, tapi yang kusadari suasananya kian lama kian menerang. Aku mendongak ke atas dan aku melihat matahari yang sinarnya membuat mataku perih, namun hatiku lega karena kuyakin aku sudah hampir di ujung semak-semak belukar yang sudah menyebabkan napasku sesak.
Kuberjalan dengan santai ke depan lalu tanganku menyingkap tumbuhan terakhir yang harus aku lalui dan ketika itulah mataku memandang alam luas yang terbuka, seluas mata memandang. Lagi-lagi aku menanyakan di manakah aku sekarang? Padang rumput hijau yang terbentang begitu luas yang seolah-olah tidak ada batasannya. Suara itu kudengar lagi tapi kali ini terdengar lebih syahdu dan penuh harap.

“Miu, Miu..” saat itulah aku melihat seorang lelaki yang sedang mengenakan kemeja putih tetapi tak jelas coraknya dan bercelana kain warna putih juga. Aku bergerak dengan sangat hati-hati lalu berhenti setelah kuyakini ternyata lelaki itu adalah mantan kekasihku, cinta pertamaku.

“Faiz,” suaraku seakan berbisik. Kali ini aku bergerak lebih cepat tanpa mempedulikan benda di sekelilingku. Kakiku terasa dingin dan ketika aku melihat ke bawah ternyata aku sedang mengharungi air sungai yang sedang mengalir dengan derasnya. 

Faiz masih berdiam di tempat, dia berdiri di pinggir sungai yang memisahkan kami berdua. Saat berada di bagian tengah sungai, separuh tubuhku terendam air namun aku terus bergerak ke depan. Sekarang manusia yang paling kurindui sudah ada di hadapanku. Tangan-tangan ini ingin menyentuhnya tapi tiba-tiba dia bergerak kian menjauh.

“Faiz, Faiz,” aku berlari secepat yang kumampu untuk mengerjarnya namun herannya, larianku tidak mampu mengejarnya dan tiba-tiba Faiz ghaib dari pandanganku. Kembali aku memanggil namanya.

“Faiz, Faiz, Faiz!” kukerahkan tenagaku saat menyebut nama itu. Walaupun sudah beberapa kali aku memanggil namanya namun orang yang paling ingin dilihat oleh mataku masih belum kutemukan. 

Ketika aku hampir menyerah tiba-tiba suara yang paling merdu itu kembali mengisi ruang-ruang kosong yang ada di tempat aku berada sekarang. Suaranya terdengar dari belakangku dan aku segera menoleh ke belakang.
“Faiz,” ucapku dengan perasaan lega. Dia sedang berdiri di tempat pertama kali aku menemukannya. Dengan langkah seribu aku mendekatinya dan sekali lagi aku harus mengharungi aliran deras sungai yang menjadi pemisah antara kami. 

Tubuhku sudah sepenuhnya terendam oleh air sungai dan beberapa detik kemudian aku berhasil naik ke daratan yang tanahnya merupakan padang rumput hijau yang terasa lembut, saat itulah aku perlahankan langkahku karena dia sudah dapat kuraih dengan tanganku. Kuangkat kedua-dua tangan ini untuk meraih dan menggapai tubuhnya, tapi tanganku tak sampai sedangkan aku yakin sekali jarak kami hanya dipisahkan oleh setengah dari lenganku ini.

Setiap kali aku hendak meraihnya dia kian menjauh. Dia seperti dekat tapi jauh untuk kuraih.

“Faiz, Faiz where are you going?” seketika perasaan ini berubah resah tatkala dia masuk ke dalam semak-semak belukar yang telah mengantarku ke tempat asing ini. Aku mengejarnya dengan perasaan yang teramat bimbang. Kedua-dua tanganku sedang merobek-robek rimbunan pohon yang dahannya menjalar ke segala arah. Setelah bertungkus lumus melakukannya akhirnya aku berhasil masuk ke dalam. 

Kembali mataku melihat Faiz sedang berdiri memandangku dan seolah-olah sedang menanti kedatanganku. Kali ini aku berlari sekuat tenaga tanpa mempedulikan ancaman ranting-ranting kering yang berserakan di atas tanah karena aku tak mau kehilangannya untuk yang kesekian kali. Tanganku sudah yakin bisa mendekapnya tapi lagi-lagi aku hanya memeluk angin.

“Faiz,” hatiku semakin sakit dan tersiksa ketika orang yang paling ingin kulihat sudah ada di depan mata namun tak bisa disentuh. Faiz sedang berlari kecil dan semakin lama semakin menjauh. Aku mengejarnya saat menyadari dia mulai menjauhiku. Terkadang dia menghilang dari bola mataku lalu hadir kembali dan menghilang lagi kemudian hadir kembali dan begitu seterusnya sampai aku tak mampu lagi mengatur pernapasanku.

Rasa cintaku yang luar biasa kepadanya telah mengantarku jauh dari batas putus asa. Aku berlari dengan keseimbangan yang tidak stabil dan akhirnya aku terjatuh tapi aku bangun kembali dan mengejarnya. Aku terjatuh lagi dan bersusah payah untuk bangkit lalu kembali mengejarnya. Beberapa kali aku terjatuh sampai akhirnya aku tak mampu lagi untuk berdiri namun aku terus bergerak dengan mengerahkan kekuatan tangan dan gerakkan tubuh. 

cerita cinta romantis


Kuperas ototku hingga ke tenaga yang terakhir namun bayangannya masih belum terlukis pada kedua bola mataku. Sekarang aku hanya berteriak memanggil namanya.

“Faiz! Faiz! Faiz!” suaraku semakin lama semakin perlahan dan aku terus berteriak lagi memanggil namanya sampai suaraku yang terakhir. 

Kupejamkan mataku lalu kegelapan itu hadir dan ketika aku membuka mataku kembali.

“Faiz..” ucapku perlahan dan pandanganku kian menerang lalu melihat Danil sedang menatapku heran.

“Miu, apa yang sedang berlaku?”

“Danil?” nafasku masih terengah-mengah seperti dikejar oleh sesuatu yang menakutkan.

“Kau sedang bermimpi?”

“Ya,” aku mengangguk.

Aku sudah mulai menutup mataku tapi bayangan Faiz masih terlihat terang dalam kegelapanku. Saat aku menyentuh pipiku ternyata ia basah oleh air mata, itu berarti aku masih belum dapat melupakannya dan cintaku untuknya masih ada.

Sahabatku kalian selalu ada dihati.
Kalian tidak akan pernah pergi.
Walaupun mentari tak bersinar lagi.
Sahabatku kalian adalah keluargaku.
Kalian adalah segalanya untukku.
Sahabat dilahirkan dengan cinta.

Dan cinta bukanlah sampah tapi cinta itu penuh rasa yang tak bisa kita buang sesukanya.

Bersambung,

Kembali ke daftar isi baca novel "Tidur Bersama Hujan"