Novel Tidur Bersama Hujan Bab 6 Bagian 2

novel romantis


Keluar dari toilet kami harus melalui satu per satu manusia yang tujuan utama mereka untuk menghibur diri. Ada dua lelaki sedang menyapa Bahia yang kelihatannya begitu mesra dengannya. Mereka saling berpelukan sementara aku cukup memberikan mereka senyuman samar-samar.


Novel Romantis Terbaru


“Hey guys, would you like to join us? We seat in the right corner. Over there!” Penampilan mereka begitu smart dan serba hitam. Dari ujung kaki hingga ujung rambut mereka terlihat begitu terawat, begitulah penampilan lelaki metropolitan di Singapura. Berbeda dengan lelaki-lelaki di desa halamanku yang berpenampilan apa adanya.

“With who?” Tanya lelaki yang kedua telinganya ditindik.

novel romantis terbaru“Just three of us. Me, her and Danil?” Mata mereka kini tertuju kepadaku. Rasanya pandangan itu bagaikan binatang buas kelaparan yang sedang dihadapkan dengan mangsanya dan mangsa itu adalah aku sendiri. Aku sudah tak kuat lagi berada di sini dengan keramaiannya dan musik lincah yang memekakkan telinga.

 Aku harus menunggu kira-kira 4 jam untuk bisa keluar dari tempat ini. Sementara Bahia tampak begitu menikmati setiap detik yang berlalu. Kami sudah berada di samping Danil. Beruntung ketampanan lelaki yang masih kuanggap misterius itu sedikit mengurangi rasa gugupku.

“Okay kalian berdua tunggu di sini. Aku nak order minuman dulu. Miu kau nak minum apa?” Tanya Danil dengan volume suara diatas normal karena harus melawan bunyi musik disko yang belum biasa disentuh oleh telingaku.
“Air putih saja lah” Jawabku singkat.

“Air putih? Oh please. Kau ini Miu datang tempat sini pun nak minum air putih. Minum bir ke? Civas ke? Atau pun vodca ke? Please don’t drink air putih here,” pinta Bahia.

“It’s okay Bahia cause I don’t drink alchohol,” Balasku singkat,,

“Miu kalau kau minum air putih kau tak akan bisa happy tau! Kalau kau nak happy kau kena ikut cara kita orang,” Bahia mati-matian memaksaku untuk mengikuti cara hidupnya di Dunia malam.

“Tak apalah Bahia. Aku minum air putih saja ya.”

“Suka hati kau lah tapi kalau kau tak happy jangan salahkan kita orang tau.”

“Tak lah aku okay. Aku yakin aku mesti happy malam ini.” Padahal ingin sekali kutinggalkan tempat ini. Suasana sekelilingnya tidak bisa kulihat dengan jelas serta ditambah suara musiknya yang memekakkan telinga dengan sempurna membuat batin ini tersiksa.

“Bahia, biarkan Miu memilih apa yang dia rasa nyaman.” Ternyata Danil bisa menghormati prinsip hidupku dan pikirannya lebih dewasa daripada Bahia.

Danil kian menjauh lalu membaur bersama manusia-manusia yang hendak menghibur diri jadi sekarang hanya ada Bahia dan aku di tempat duduk yang posisinya paling sudut di sisi kanan.

“Miu, apa kata kalau cardigan kau lepaskan saja. Aku nak kau tampak lebih seksi dan menarik.” Bahia benar-benar membuat aku jengkel. Sifatnya yang mengatur membuat diriku semakin merasa tidak nyaman di sni.

“ Di sini terlalu sejuk untuk aku melepaskan cardigan dan lagi pula aku tidak terbiasa tampil seksi seperti dirimu.”

“Tak kisahlah ini bukan pat kampung. Kau lupa sekarang kita kat Bandar so tak ada orang yang peduli kau pakai apa.” Kembali Bahia memaksaku untuk menjadikan diriku seperti dirinya yang pabila berpakaian membuat mana-mana lelaki tergoda.

“Bahia, Please stop!” tegasku.

“Suka hati kaulah. Aku cakapkan aja supaya kau boleh happy.” Tampak si norak itu kecewa akan penolakkanku tapi kuyakin dia tidak akan menyerah untuk mewujudkan keinginannya.

“I’ll be happy. Don’t worry about me.” Jelasku dengan wajah suntuk yang tak bisa lagi kusembunyikan.

“But I don’t think so. I know you look so boring.”

“Sebab ini kan first time buat aku. Kau sabarlah biarkan aku terbiasa dengan tempat semacam ini dulu ya,” terus terang aku bingit dengan suara musiknya yang terlalu keras serta udaranya yang terlalu dingin meskipun kumemakai Cardigan kain warna ungu dan bau-bau alkohol yang menyengat hidung serta perilaku-perilaku aneh oleh manusia-manusia yang setangah sadar membuat diri ini tak sanggup lagi berada di sini. Aku ingin pergi! aku sudah tidak tahan lagi dengan semuanya! Teriak batinku.

Tak lama kemudian Danil pun muncul sembari membawa satu jap minuman vodca cranberry yang berwarna merah ceri dan sebotol air mineral yang mereknya tak bisa kubaca karena suasananya yang samar-samar dipenglihatanku.

Rasa tidak nyaman yang kurasakan saat ini membuat otak ini terasa gersang sehingga dengan cepat kuambil minumanku dan langsung kuteguk hingga menyisakan kira-kira setengah botol.

“Jom, kita joget sekarang!” Pinta Bahia setelah beberapa kali menyedut minuman yang berwarna merah ceri. Mereka saling bergantian menyedutya.

“Jom Miu kita joget sekarang!” Sekarang giliran Danil merayuku.

“Aku masih penat. Kau orang aja dulu yang berjoget ya. Aku duduk pat sini aja dulu.” Semoga mereka bisa mengerti perasaanku. Rasanya sangat tidak mungkin menari di depan khayalak ramai meskipun menari adalah hal yang paling kugemari.

“Jom lah joget!” Bahia memang tidak akan pernah mengerti, pikirku.

“Aku tidak biasa berjoget di depan banyak orang,” tegasku.

“Kau nak malukan apa. Semua orang kat sini pasti berjoget,” terang Bahia tapi tetap saja aku tidak bisa. Berbeda dengan mereka yang sekarang dalam kondisi setengah sadar jadi rasa malu sudah tiada. Lagipula dalam keadaan sadar pun Bahia memang tidak punya rasa malu. Ucapku di dalam hati.

“Sekarang aku nak berehat sekejap saja. Please,” kali ini aku benar-benar memohon. Semoga mereka memahaminya.

“Okaylah nanti bila aku datang balik jangan pulak kau tak nak bila aku ajak berjoget tau.”

“Iya aku janji,” jawabku dengan raut wajah tersuntukku.

Mereka meninggalkanku sendirian dan anehnya Bahia membawa pergi minuman air mineralku. Aku tak kuasa melarangnya. Mungkin si norak itu sedang kehausan, pikirku. Aku juga lagi malas berpikir mengapa Bahia membawanya karena pikiran dominanku yang sekarang bahwa aku ingin pulang sekarang.
Belum sempat kesendirian ini membawa jiwaku berkelana ke dunia masa lalu, Bahia mucul sambil membawa kembali minumanku.

“You take a drink now!” Sambil menyuguhku sebotol air mineral yang isinya tinggal separuh.

Kuambil dari tangannya tanpa curiga. Sifat ingin tahuku mengapa Bahia memberikannya kepadaku terkalahkan oleh keinginanku untuk pergi. Air itu terasa sedikit pahit dan payau dilidah.

“Ini air apa Bahia? Kenapa rasanya pahit,” keluhku masih dengan wajah tersuntukku.

“Just drink sampai habis. Tak ada apa-apa,” jelas Bahia.

“Tapi rasanya berbeda dengan air putih yang bisa ku minum.”

“It’s okay Miu just drink it. Trus me, you will be happy after that.”

Aku sudah lelah untuk berdebat akhirnya kuturuti supaya dia merasa senang. Aku berusaha sebisa mungkin untuk tidak merusak suasananya.

Kuteguk habis minuman aneh itu dan kebetulan tenggorokan ini juga lagi butuh air. Kemudian Bahia pergi meninggalkan kusendiri dan aku tidak mempermasalahkannya karena kehadirannya ketika ini justeru selalu menganggu.

Aku duduk bersandar dikursi dengan mata tertutup dan kedua tangan kuselipkan di kedua kakiku yang merapat. Pikiranku melayang tinggi ke atas dan kian lama kian tinggi mengangkasa hingga menembus ruang dan waktu. Seolah-olah waktu berjalan mundur dengan kata lain aku berekreasi ke masa laluku saat bersama Faiz dulu.

Jiwaku berkelana di tempat pertama kali aku berkenalan dengannya disamping Raffles city Shopping Mall. Kemduian jiwaku berpindah ke masa dia menghadiahkanku rantai emas putih saat ia dirawat di rumah sakit Tan Tock Seng yang berlokasi di Novena.

Bangunan itu merupakan saksi bisu akan pengorbanan cintaku kepadanya. Pagi-pagi sekali aku keluar dari rumah untuk menjenguknya di Rumah sakit dan pulang pada pukul 11.30 malam karena MRT berhenti beroperasi pada pukul 11.45 malam. Selama 7 hari dia dirawat, 4 malam berturut-turut aku tidur dirumah sakit tanpa sepengetahuannya. Alasanku untuk bisa menghemat uang dan tenaga. Kusanggup melakukannya karena cinta. Aku tidak diperbolehkan tidur di dalam ruang ia dirawat ataupun di dalam ruangan yang masih bagian dari Rumah sakit jadi aku terpaksa bermalam dilantai dasar yang merupakan area restoran-restoran cepat saji seperti Delifrance, Mc Donald, KFC dan beberapa warung makan yang menjual makanan-makanan lokal.

Sudah pukul 11 malam lewat beberapa menit tapi aku masih bersama Faiz di rumah sakit Tan Tock Seng. Hanya aku pengunjung yang masih ada di ruang Faiz dirawat yang bermuatan 6 tempat tidur sementara tempat tidurnya Faiz berada paling kiri disamping dinding. Faiz sedang meraba-raba sesuatu di dalam laci yang bersandar di antara dinding dan tempat tidurnya. Suara gesekan antara tangan kanannya dengan tubuh laci terdengar mencolok disuasana sepi sebegini.

“Awak, ada sesuatu yang hendak saya kasikan sebagai kenang-kenangan kita bersama. Manalah kita tahu jikalau hari ini adalah hari terakhir kita bersama sebab ajal dan jodoh Allah yang menentukannya.” Berkata Faiz dengan suara yang setengah berbisik. Dia sedang duduk di atas tempat tidur pasien dengan tangan yang diimfus. Aku pun sedang duduk disampingnya.

“Jodoh dan maut menang sudah kuasa sang maha pencipta tetapi sebagai manusia kita tidak perlu memikirkannya sebab tanpa kita pikirkan pun ia akan terjadi juga. Saya mohon awak tidak lagi berkata seperti itu.” Perasaan takutku akan kehilangannya justeru lebih besar dibandingkan rasa penasaran tentang barang yang akan ia hadiahkan kepadaku.

“Awak balik badan sekejap dan mohon tutup mata awak sampai saya suruh buka kembali.” Langsung kumenghadap tubuh ke depan membelakangi dirinya yang bila kupandang wajahnya akan merasa iba karena dia sedang sakit dan aku bisa merasakan penderitaannya lewat batinku yang senantiasa gelisah.

Kedua tangan ini kusilangkan ke dada mencoba membendung bunyi denyut jantungku yang berdenyut luar biasa hebatnya ketika tangan yang paling ingin kusentuh itu mengusap lembut tengkukku lalu membelai rambutku. Kini aku sudah bisa menebak barang yang hendak ia berikan. Mataku sengaja ditutup agar lebih bisa merasapi setiap detik dari suasana romantis yang kedatangannya bisa kuhitung dengan lima jari. Bersama Faiz membuat waktu ini terasa sekejap.

“Cinta kita hingga ke pintu Syurga” Suaranya yang berkharisma itu menyentuh lembut gendang telingaku. Itulah syair terindah yang pernah ku dengar. Leherku pun kini terasa sejuk hingga kesejukannya menjalar keseluruh tubuh karena dilingkari oleh kalung emas pitih yang harganya tak mampu dinilai oleh apapun benda-benda di dunia ini.

Bersambung,

Silakan kembali ke daftar isi novel Tidur Bersama Hujan untuk membaca bab yang belum kamu baca dan mohon untuk di share ya.