Kemudian jiwaku berkelana
diwaktu dulu aku bermandikan airmata. Penderitaan yang teramat perih yang
datangnya dari seseorang yang memperkenalkan aku tentang banyak warna kehidupan.
Kebelakangan ini
sifat Faiz berubah. Acapkali dia menuduhku yang bukan-bukan, hampir setiap kali
aku mengangkat telpon darinya pasti ada saja masalah yang dia suarakan jadi apabila
mendengar bunyi telpon darinya saja sudah sangat menggetarkan jiwaku. Makanya sebelum kuangkat telpon
darinya, aku pasti berdoa terlebih dulu semoga kali ini dia dalam keadaan yang
baik.
Novel Romantis Terbaru
Faiz benar-benar
menguji cintaku. Tak henti-hentinya dia berusaha mencari kesalahanku. Layanannya
menjatuhkan jiwaku kelembah penderitaan. Apakah yang membuat lelaki yang paling
aku sayangi berubah? Terkadang aku sempat berpikir bahwa sikapnya yang selalu
mencari kesalahan dan kelemahanku adalah caranya untuk aku bisa pergi dari
kehidupannya tapi terkadang aku juga berpikir bahwa ia sedang menguji seberapa
besar cintaku kepadanya. Aku berusaha untuk bisa bertahan meskipun dalam keadaan
yang tertakan dan dalam ketakutan akan kehilangannya.
Kumelakukan
segala hal yang diinginkannya, menangis dibelakang dan dihadapannya, memujuk hatinya
dengan kelembutan dan bahkan terkadang aku tidur bersama hujan hanya karena aku
ingin berada disisinya. Kulakukan semua itu atas nama cinta, cintaku kepadanya
hingga ketempat tersunyi didunia fana ini.
Lalu jiwaku
kembali berkelana dikala aku terperangkap didalam jurang penderitaan karena kehilangan
dirinya. Hatiku berdenyut perih setiap detiknya, sel-sel disekujur tubuhku layu
tak bermaya dan udara yang kuhirup tak pernah melegakan dada. Aku betul-betul
dalam penderitaan. Merasa diri ini kecil dan tak berguna. Tiba-tiba aku melihat
Faiz sedang mendekatiku dan spontan airmata kerinduan bergelimang dikedua
kelopak mata lalu bermuara hingga kedagu.
“Miu! Miu! Miu!”
Seseorang memanggil namaku dengan volume suara seakan berbisik sejurus kemudian
tubuhku bergoyang seperti ada yang menggoyangkannya hingga kedua mata ini terbuka.
“Bahia ..” Dia sedang berdiri dihadapanku dengan raut wajah
seribu tanda tanya.
“Miu, are you
okay?” suara musik yang lantang telah mengembalikan semula kesadaranku bahwa
diri ini sekarang berada didalam club bersama Bahia dan Danil.
“Tak tahulah Bahia , aku teringatkan Faiz” Kuseka airmataku dengan
kedua tangan.
“Jangan kau
ingatkan masa lampau itu. Kita datang kesini nak happy happy tau. Jom kita joget.”
“Aku nak balik
ajalah. Aku rasa tak sedap badan, kepalaku terasa sedikit sakit.” Tubuhku juga
kedinginan dan kepalaku terasa ringan. Aku merasakan sesuatu yang belum pernah
aku rasakan sebelumnya.
“Kita akan balik
sekejap lagi. I will teach you how to be happy in the clucb.”
“Aku rasa lain
macam lah Bahia . Aku rasa tak sedap badan.”
Keluhku sambil memegang kepala yang kini terasa ringan.
“Miu!” Panggil
Bahia
“What?”
“Sebenarnya tadi
aku masukkan sesuatu kat minuman kau” Jelasnya.
“Masukkan apa?”
Tanyaku masih dengan pikiran kacau yang rasanya sungguh tak nyaman.
“Aku masukkan
semacam obat dalam air kau tadi so kalau kau tak mau dance maka kau boleh mati”
“Apa! Mati?”
spontan jantungku tersentak mendengar kata mati. Aku langsung terbangun dari ketidakberdayaan
yang sedang melandaku kini.
“Iya kau boleh
mati.”
“Jadi aku harus
buat apa Bahia ? Aku tak nak mati, aku tak nak
mati,” ucapku dalam keadaan terpanik. Belum pernah kumerasa setakut ini.
“Kalau kau tak
berjoget kau boleh mati tau.”
“benarkah?” Masih
dilanda panik dan takut.
“iya iya kalau kau
tak dance kau boleh mati tau!”
“Kalau macam itu
jom lah kita berjoget sekarang.”
Bahia segera memimpin
tanganku lalu kami membaur bersama keramaian yang sedang menikmati lagu I’m into you oleh Jennifer Lopez. Aku sudah mulai
asyik menari. Aku sungguh bahagia, ditempat ini aku merasa bebas seperti seeokor
burung yang terbang bebas diudara lepas.
Tarianku
melukiskan kebebesan hidup, lepas dari segala pikiran-pikiran tak penting yang
selama ini bersarang dibenakku. Lelaki asing itu kembali tersenyum dan kali ini
kubalas senyumannya dengan lebih tulus serta kuluangkan sedikit waktu untuk
memperhatikan keadaan fisiknya.
Penampilan yang
menarik akan memberi kesan yang positif dan itu sudah lumrah kehidupan,
pikirku. Dia dua jengkal lebih tinggi dariku, potongan rambutnya cepak seperti
seorang askar, alisnya hitam tebal berbentuk bulan sabit, hidungnya kecil tapi
mancung. Bibirnya yang paling aku suka, bentuknya mungil dan warnanya merah menyala
semerah delima. Aku tak pernah melihat bibir yang semenawan itu, ucapku didalam
hati.
Dia sedang
memandangku tapi pandangannya tak mampu mengganggu tarianku bahkan diri ini merasa
tertantang dan lebih bersemangat. Aku merasa seolah-olah sedang menari di atas
panggung dihadapan ribuan penonton.
Kuusahakan untuk memandang
wajahnya tanpa sepengetahuannya dan dia tersenyum lebar. Ternyata senyumannya sungguh
memikat sehingga membuatku merasa lebih nyaman menari dihadapannya. Kembali aku
menutup mata agar musik itu bisa merasuk kejiwaku dan aku lebih bisa menjiwai
setiap rentakkannya. Meskipun tubuh ini bermandikan keringat namun aku masih tetap
ingin menari.
Gerakkanku kian
lincah dan cepat mengikuti irama lagu Adele, Someone like you. Mataku masih tertutup dan kubuka kembali ketika lagu itu
berakhir. Ternyata lelaki yang wajahnya mirip Samuel rizal artis idolaku sudah
tidak kulihat lagi.
Sekarang lagunya Katty
pery, Fire work sedang berdendang di dalam ruangan
yang memberikan kebebasan kepada manusia termasuk diriku. Kuingin membebaskan
segala rasa yang menyakitkan dihati ini, segala siksaan yang mendera batinku.
Tarianku melambangkan kebangkitan, sangat sesuai dengan pesan lagunya yakni
bangkit dari ketidakberdayaan. Ketika lagu itu sudah merasuki rohku tiba-tiba musik
terhenti dan suasana yang tadinya remang-remang kini terang bercahaya sehingga
aku bisa melihat dengan jelas semua orang yang ada.
Aku mendengar
suara keributan, jaraknya hanya beberapa meter dari tempat aku berdiri. Mataku liar
mencari Bahia dan Danil namun kugagal menemukan
mereka. Justeru aku menyaksikan dua lelaki seusiaku sedang beradu mulut dan
otot. Aku paling benci dengan apapun jenis perkelahian karena ia bisa membuat
hatiku resah tak menentu. Kebisingan yang kian menguat, perkelahian yang tadinya
antara dua lelaki kini bertambah dua orang hingga suasananya seriuh dipasar
ikan.
Kujelajahi setiap
ruang di lantai dasar untuk menemukan Danil dan Bahia
tapi masih sia-sia. Mungkin mereka ada di lantai dua, pikirku. Aku langsung
menuju ke arah tangga dengan hati yang gelisah disebabkan oleh suasana bising
di lantai satu. Ada
dua buah kursi dan meja yang sedang ditempati oleh dua pasangan yang tidak
kukenal dan di sebelah kanan mereka adalah pintu masuk ruang merokok. Dinding
dan pintunya terbuat dari kaca jadi aku bisa melihat isi di dalam ruang
tersebut. Dalam pandanganku ada empat wanita dalam usia kira-kira 40-an sedang
berbicara sambil menghisap rokok. Penampilan mereka kelihatan norak sangat
tidak mencerminkan usia mereka yang sesungguhnya.
Aku masih
memperhatikan mereka hingga salah satu dari wanita-wanita itu berpindah tempat.
Ketika itulah aku melihat sebagian tubuh lelaki yang kupikir dia adalah Danil
karena jam tangan ditangannya yang membuat aku berpikir demikian. Wajahnya
tertutup semua oleh perempuan berambut merah kecoklatan yang sedang dipangku oleh
lelaki yang kupikir Danil. Aku masih melihat mereka tapi dari sudut arah kanan
agar aku bisa melihat wajah lelaki itu dengan sempurna. Ternyata dia memang
Danil. Spontan hatiku berdenyut perih, seperti ada sesuatu yang menghalangi
pernafasanku dan darahku bagaikan mendidih kepanasan. Dalam hati ingin sekali
aku memarahinya atas apa yang tengah ia lakukan sekarang ini. Kutahan emosiku
dan mencoba untuk bersabar. Dalam kesabaran itu aku pun berpikir. Mengapa aku
bisa marah ketika melihat Danil bersama perempuan lain? inikah yang dinamakan
cemburu? Dan aku cemburu karena aku menaruh harapan untuk bisa bersamanya? Oh tidak,
aku tak boleh jatuh cinta kepadanya.
Aku marah saat
melihatnya bersama perempuan lain bukan karena aku cemburu, bukan karena aku
suka dengannya tapi karena aku tak mau …. Ah sudahlah lupakan masalah Danil. Aku
tak mau menganggu kebahagiannya bersama perempuan-perempuan tua yang tak
sadarkan diri itu.
Kakiku kembali berayun
menjauhi Danil dengan perempuan-perempuannya. Arah gerakkanku menuju tangga ke
lantai satu dan ketika menapaki satu demi satu anak-anak tangga tiba-tiba musik
yang tadinya sempat terhenti selama kira-kira 15 menit kini menggaung kembali. Karena
seleraku untuk menari sudah tergantikan oleh rasa marah dan benci terhadap
Danil maka kulanjutkan pencarian ini untuk menemukan Bahia .
Belum jauh dari
tangga, aku sudah menemukan Bahia bersama dua
lelaki yang usianya jauh lebih muda darinya. Bahia
dipeluk oleh lelaki-lelaki itu, wajahnya seperti orang setengah sadar. Kupikir
dia sedang mabuk berat. Akhirnya kuurung niatku untuk mendekatinya. Aku kembali
menaiki anak-anak tangga menuju lantai dua. Mungkin aku memang harus sendirian
dan kutemukan sofa kosong yang tak jauh dari toilet. Sekelilingku agak sepi dan
gelap jadi sangat jarang melihat orang yang lalu-lalang. Aku pun duduk di sofa
paling ujung di sebelah kanan.
Pikiranku kembali
dirasuki oleh banyangan-banyangannya Faiz dan kucoba untuk menghalangnya dengan
memikirkan Danil dan Bahia namun ketika aku tak bisa, banyangan Faiz kembali
menjelma. Bagian masa lalu yang paling tidak ingin kuingat tapi justeru sulit
untuk kulupakan dan akhirnya aku terpaksa berlayar ke masa itu. Ketika pikiran
ini sudah mulai meng-angkasa tiba-tiba kudengar suara lelaki dari arah kanan.
“Tak berjoget
lagi ke?” Suara yang mengejutkan hingga aku tersadar. Kumemalingkan wajahku ke kanan.
Dia semakin mendekatiku sehingga aku bisa melihat jelas wajahnya. Ternyata dia
adalah lelaki yang tadi menari bersamaku. Tubuhnya yang gagah dan tegap dibalut
dengan kemeja biru dan bercelana jean hitam.
“Buat apa awak
duduk seorang diri di sini? Tak nak menari lagi?” Aku masih segan berbicara dengannya
tapi kucoba agar rasa segan yang sedang melandaku tidak kelihatan.
“Mungkin nanti
tapi untuk sekarang saya ingin berehat sekejap,” Balasku.
“Saya suka tengok
awak menari tadi,” pujinya sambil tersenyum dan aku pun menyenyuminya kembali.
“Awak minum ini?”
Sambil menyuguhkanku segelas minuman yang ada ditangannya. Civas dicampur
dengan coca cola, terangnya.
“No, thanks,” sembari menggelengkan kepalaku.
“Boleh saya duduk
pat sini?” Tanyanya dengan begitu sopan. Spontan darahku mengalir semakin deras
dan denyut jantungku tiba-tiba memperlaju denyutannya.
Alhasil tubuhku
mengeluarkan keringat dingin. Aku tak biasa dengan suasana gelap bersama lelaki
asing. Aku sedikit takut tapi karena suaranya yang lembut dan gaya biacarnya yang sopan membuat diri ini
tetap ingin duduk.
“Silakan,” Dengan
nada suara yang kuusahakan kedengarannya berani. Jujur aku masih sedikit risih
dengannya karena memang aku lagi butuh sendiri.
“Awak datang kesini
sorang-sorang atau dengan kawan?” Kembali dia bertanya dengan bahasa melayunya
yang memikat. Kalau bukan karena suaranya yang lembut dalam memainkan kata-kata
maka sudah sedari tadi aku pergi.
“Saya datang
kesini dengan dua kawan saya.” Aku sudah mulai berani menatap wajahnya yang hanya
berjarak kira-kira 50cm dari wajahku.
“Oh ingatkan
sorang. Kawan-kawan awak sekarang ada di
mana?”
“Mereka sibuk
dengan hal mereka masing-masing.”
“Sebab itu awak sendiri
pat sini?” Wajahnya sungguh bersahabat sehingga hati ini merasa nyaman saat
memandangnya.
“Ya.” Suasana di
sekeliling kini terasa hangat dan nyaman. Setiap kata yang dihembuskan olehnya bagaikan
angin sepoi-sepoi yang kelembutannya mampu menyegarkan setiap sel-sel yang
membentuk ragaku.
Satu jam berlalu
terasa sekejap dan kini pukul 3:30 pagi, setengah jam lagi Zirca akan tutup. Suara
handphoneku kini berdering didalam saku Cardigan ungu yang kukenakan. Nama
Bahia sedang muncul dilayar Handpone. Danil dan Bahia
sedang menungguku di locker.
“Saya harus pergi
sekarang.” Rasanya berat meninggalkannya kecuali dia menanyakan namaku terlebih
dulu. Sebagai perempuan tak mungkin aku dulu yang bertanya. Aku sudah berdiri
dan sedang bersiap-siap untuk meninggalkannya.
“Tidak apa-apa.
Jumpa awak lain waktu ya,” Dengan cepat dia meneguk habis minumannya. Suatu tindakan
untuk mengumpulkan keberanian, pikirku. Aku sudah mengayunkan langkah pertama dan
sedang membelakangi dirinya.
Ketika beberapa
langkah meninggalkan sofa yang tadi kutempati tiba-tiba langkah ini dihentikan oleh
suara teriakan dari arah belakang.
“Nama awak
siapa?” Dia bertanya dari jarak kurang lebih 3 meter dengan suara yang berteriak
memandang harus melawan kuatnya suara musik serta jarak kami yang tak sedekat tadi.
“Miu dan awak?”
Giliranku yang berteriak Taqim. Handphone number?” Masih berteriak dan disertai dengan bahasa tubuh.
Aku langsung mengerti maksudnya ketika dia meletakkan kedua jarinya ditelinga.
“91404890,” jawabku masih dengan berteriak dan juga disertai dengan bahasa tangan.
Ketika menuruni
anak tangga menuju ke area locker, handphone ku menjerit tiga kali pertanda ada
pesan sms yang masuk. I Love your Dancing. Aku tersenyum bahagia membaca sms
darinya dan senyuman itu masih menghiasi bibir-bibir ini hingga aku menemukan
Danil dan Bahia . Memandangku dengan seribu
tanda tanya.
Bersambung,
Silakan kembali ke daftar isi novel Tidur Bersama Hujan untuk membaca bab yang belum kamu baca.