Baca Novel Gratis

Baca Novel


Mari baca novel tanpa aplikasi apa pun untuk membaca novel di Smartphone mu dan ia 100% gratis dan kamu cukup menekan tombol share di bawah artikel ini. Novel online ini adalah sambungan dari Bab 2 yang bikin baper tentang Tidur Bersama Hujan. Pada postingan ini Bab 3 bagian pertama tentang "Sahabat Baru".

Baca Novel Online di Ponsel


Pada halaman ini novel "Tidur Bersama Hujan" menceritakan tentang sahabat baru Miu; Bahia dan Danil. Mereka masing-masing memiliki keistimewaan yang menginspirasi orang yang mengenal mereka. Yuk kita baca novelnya sama-sama dan jangan lupa tombol sharenya sebagai penutup cerita. Selamat membaca!

Bahia dan aku sedang berbelanja di 7Eleven Stasiun MRT Redhill. Mini market yang beroperasi selama 24 jam. Aku hanya memiliki uang $10, jika dibelanjakan maka tidak akan cukup untuk mengisi kartu Ezlinkku, jadi aku hanya menemani Bahia yang ditangannya sedang memegang selembar uang kertas $5.

Bahia sedang berdiri di depan oven, memanaskan       kue pau dengan inti yang berbeda dan untuk mengetahui jenis intinya maka pau-pau tersebut memiliki bintik warna yang berlainan di bagia atasnya. 

Bahia mengambil dua buah pau, satu berbintik warna hijau yang berinti kari ayam, kemudian dia menawarkan ku untuk mengambil satu pau  lagi dengan warna pilihanku sendiri. Aku memilih warna merah. Itu adalah pau yang berintikan kari daging. Bahia kembali berjalan menuju ke rak-rak yang tersusun coklat dan roti tepat di sudut bagian kanan.

“Miu, tolong bawakan pau ini sekejap, boleh tak?” Bahia menyuruhku membawanya. Setelah aku ambil pau-pau itu, matanya melirik ke kiri dan memperhatikan kasir yang sedang menghitung jumlah barang pembeli yang lain. Suasananya memang tidak ramai karena sekarang hampir pukul 11 malam.

“Miu, kau berdiri sekejap di sini ya,” Bahia menyuruhku berdiri di sampingnya sehingga tubuhnya terlindung oleh pandangan kasir yang ada di sebelah pintu masuk. Tangannya sedang mengambil dua coklat Cardburry berukuran lumayan besar lalu coklat-coklat itu diselipkan di saku celananya. Spontan sekujur urat-urat di bagian tengkukku menegang. Rasa takut, gugup dan panik berkumpul menyerangku sehingga kaki-kakiku terasa lumpuh dan begitu juga lidahku mendadak kelu.
“Jom kita pergi bayar sekarang!” ucap Bahia lalu berjalan menuju ke kasir. Sekujur wajahku membara merah, kakiku kaku dan leherku bagai tersengat listrik sehingga membuat sendi-sendi tulangku seakan-akan tidak bisa digerakan. Bahia menoleh ke belakang saat menyadari diriku yang masih tidak bergerak.

“Miu, cepatlah, tunggu apa lagi?” seru Bahia. Kukerahkan sisa-sisa keberanian yang ada untuk mengikutinya dari belakang. Degupan jantungku sudah berbunyi keras ketika kami sudah berdiri di hadapan kasir. 

Bahia mengambil pau-pau yang sedang kupegang lalu menyerahkannya kepada kasir. Kurasa dia tahu bahwa aku tak mampu menggerakkan tanganku ini. Sengaja wajahku menghadap pintu keluar karena aku tak mau kasir itu melihatnya. Raut wajahku yang terasa sudah tak berbentuk lagi, boleh memberikan gambaran kepadanya bahwa kami sedang bermasalah.

Kami berhasil keluar dari 7Eleven tapi terus berjalan dan berhenti di luar bangunan stasiun MRT dan saat itulah Bahia memerdekakan tangan kananku. Jiwa dan ragaku pun turut merasakan kemerdekaannya setelah beberapa menit terbelenggu oleh rasa khawatir yang sungguh menegangkan.

Kami sedang menuju ke arah Danil dan teman-temannya. Sengaja kami berjalan lambat supaya boleh banyak bercerita. Bahia menceritakan banyak hal tentang teman-temannya yang tadi kukenal. 

Ternyata dugaanku benar bahwa Chacha berpacaran dengan Zulfikar dan Melisa adalah kakak tirinya. Sebenarnya, Melisa juga sudah ada pacar namanya Bob tapi sedang bekerja malam di Resort World Sentosa. Sementara Amber adalah topik yang paling hangat dibicarakan. Tak heran jika aku mengagumi make-up Amber karena dia adalah seorang make-up
artist.

Bahia bercerita, sebelum adanya Danil, Amber adalah teman baiknya. Mereka seperti kulit dengan kuku. Keakraban mereka mulai rapuh setelah dia mengetahui ternyata Amber acap kali berbicara hal buruk tentang dirinya kepada Danil bahkan suka menjatuhkan harga dirinya. 

Kami sudah berjalan separuh perjalanan, kewujudan mereka sudah dapat kulihat tapi masih samar-samar. Kami berhenti sejenak.

“Bahia, by the way how old are you?” mengetahui usia seseorang itu lumayan penting sehingga aku bisa menentukan sikap yang wajar kepadanya. 

Biasanya, Bahia akan memberikan respon yang cepat, namun kali ini Bahia diam membisu sambil menyatukan kedua-dua alisnya. Kupikir dia tidak senang dengan pertanyaanku tadi dan aku sedikit menyesal.

“Kalau bercakap pasal umur, very sensitiflah, Miu tapi,” langsung kusekat kata-katanya. “It’s okay, lupakan saja pertanyaan aku tadi.”

Ia pun tersenyum, dirinya tampak begitu lega karena berhasil menyimpan rahasia terbesar hidupnya. 

Kulihat jam dihandphone menunjukkan pukul 11.00 pm, sekitar 15 minit lagi Stasiun MRT akan menghentikan operasinya. Ayunan kaki-kakiku sengaja dipercepat untuk mengejar waktu dan Bahia menyesuaikan gerakkan kaki-kakinya. 

Bahia ini super aneh tapi keanehan itu yang membuat ia menarik. Keanehannya yang senantiasa memainkan musik di jiwaku. Untuk orang yang belum dapat menyelami keperibadiannya akan beranggapan Bahia adalah wanita bermulut kejam tapi aku sudah mengenali Bahia walaupun belum genap sehari usia persahabatan kami. Sifatnya begitu terbuka membuat aku nyaman ketika bersamanya. 

“King kong dah masuk kandang pun, Miu” ketus Bahia dan aku tertawa lepas tanpa berani berkomentar. 

Tak heran jika Bahia dapat tahu dalam suasana yang samar-samar kalau Amber sudah tidak bersama mereka karena mataku juga tak melihat tubuh yang paling dominan di sana. Setelah beberapa langkah berjalan baru kami melihat wajah mereka dengan jelas. 

Chacha bangkit dari duduknya lalu mendekati kami. Pandangannya lurus ke mata Bahia, wajahnya menunjukkan ekspresi kemarahan seperti ada sesuatu yang penting hendak dia sampaikan kepada perempuan yang kuanggap sebagai penghibur sejati. 

Sementara Danil sedang duduk di samping Zul yang tak jauh dari koper pakaianku dan Melisa tiba-tiba muncul di antara kami bertiga.

“Apa yang kau cakap dengan Amber pasal aku, ha?” Bahia kaget. Ekspresi wajahnya berubah saat mendengar pertanyaan Chacha yang dilontarkan dengan agak kasar. Ia bagaikan sebuah serangan fajar.

“Cha, kenapa kau tanya macam itu?” balas Bahia dengan ucapan tersekat-sekat. Wajahnya menjadi merah dan keningnya berkerut.

“Perangai kau macam sial,” giliran Melisa menyerangnya dengan kata-kata kasar. Bibir Bahia terketar-ketar ketika hendak mengucapkan sesuatu dan belum sempat mengucapkannya, Chacha kembali menyerangnya dengan kata-kata kasar yang diucapkan dengan nada membentak.

“Aku dah cukup baik dengan kau tapi kau mengumpat aku yang bukan-bukan depan budak-budak Henderson. Kau cakap aku pelacur, kau cakap aku hanya nak gunakan Zul. Mulut kau memang sial! Kau yang pelacur! Betina tua tak sadarkan diri! Kau cermin diri kau dulu sebelum kau kutuk orang!” aku hanya bisa menggeleng-geleng kepala ketika mendengar kejian dan hinaan mereka.

Aku tak mungkin membela Bahia karena aku orang baru dan jika aku turut campur tangan sudah pasti suasana akan menjadi lebih keruh.

“Kau cakap aku couple dengan Bob sebab uang dia. Perangai kau memang tak boleh pakailah!” Bahia tak mampu mengerakkan mulutnya lagi, wajahnya kian merah dan matanya seakan-akan tak mampu digerakkan dan pandangannya lurus ke depan. 

Sungguh aku tak tega melihat Bahia dalam keadaan sedemikian tersiksa. Mereka benar-benar sudah menyiksa batinnya dan itu jauh lebih buruk daripada siksaan fisik. Bahia tak diberi kesempatan untuk membela diri karena Mereka silih berganti menyerangnya dengan kata-kata kejam dan hina.

“Kau juga cakap yang aku tergila-gilakan Danil. Hey, kau tak ada otak ke? Aku dah ada boyfriend. Kau tau tak mulut kau itu boleh buat hidup orang sengsara. Perangai kau memang tak pakai!” Aku sudah tak sanggup lagi mendengar cacian mereka.

Aku paling benci dengan kata-kata kasar, bagiku tidak ada manusia di dunia ini yang berhak mengutuk dan mengumpat serta menghakimi sesamanya melainkan Tuhan. Sedangkan Tuhan saja sudah pasti tidak akan melakukannya karena dia adalah Maha Pengasih lagi Maha Pemaaf kepada hamba-Nya tanpa satupun yang dibeza-bezakan. Telingaku benar-benar sudah tak tahan lagi menahan kata-kata kasar dan hinaan mereka jadi kuberanikan diri untuk menjernihkan keadaan.

“Chacha, aku rasa lebih baik.”

“Hey you shut up! Kau orang baru di sini, so better kau jangan ikut campur!” suaraku segera disekat oleh Chacha dan aku cuma mampu menggigit bibir.

Setidaknya kata-kataku tadi menunjukan isyarat kepada Bahia bahwa dia tidak sendiri, jadi dia boleh mendapat keberanian untuk membela diri. Bahia benar-benar tidak diberi kesempatan untuk menjelaskannya karena setiap kali dia hendak membuka mulut, Chacha dan kakak tirinya terus mencaci dan menghinanya tanpa jeda. 

Suara Chaca dan Melisa semakin nyaring tapi suara Chaca yang paling nyaring sehingga Danil dan Zul bangkit dari tempat duduk mereka lalu membaur bersama kami.

“Hei, asal korang ni asyik nak bergaduh saja dari tadi,” Danil berusaha menjadi orang tengah, tapi kali ini aku berharap sekali kalau dia di pihaknya Bahia.

“Kau tanyalah dia, apa yang sudah dia buat. Kau tahu tak dia dah fitnah aku yang bukan-bukan. Dia dah mengata aku yang aku pun tak boleh terima. Memang perangai tak boleh pakai!” terang Chacha masih dengan emosi yang meluap-luap. Telingaku sudah tak tahan lagi mendengar setiap kata yang keluar dari mulutnya.

“Kalau kau ada masalah dengan dia, kau tak boleh ke cakap baik-baik?” kata-kata Danil sedikit melegakan hatiku karena itulah yang paling aku mau. Membela sahabat baruku, Bahia. Mata Chacha kini melebar.

“Kau nak suruh aku bercakap baik-baik dengan dia setelah apa yang dia buat dengan aku. Orang macam dia tak patut kita berbuat baik,” balas Chacha sambil mengacungkan jari telunjuknya ke tubuh Bahia. Sementara suaranya masih keras dan terkesan membentak.

“Boleh tak kalau berbual dengan aku jangan tinggikan suara,” kata-kata Danil bagaikan gelombang tsunami yang menyapu habis segenap emosi Chacha dan suasana menjadi senyap sunyi dan kesunyian itu kemudian dipecahkan oleh Zul, kekasih Chacha.

“Oh, jadi sekarang kau bela dia dan kau salahkan mata air aku?”
“Aku tak bela siapa-siapa Cuma aku tak suka Chacha…”

“Hei Danil, kau masih nak bela dia, kau tahu tak, Dia pun banyak bercakap buruk pasal kaulah depan Amber,” suara Danil terus disekat oleh Melisa yang bertujuan untuk menghasut dan aku menjadi resah karena bimbang Danil termakan oleh hasutannya.

“Oh, yang itu aku tak kisah,” balas Danil dengan suara yang memikat dan aku lega mendengarnya. 

Melisa seperti sudah kehilangan akal. Raut wajahnya menggambarkan rasa tidak puas. Mereka masih belum puas melampiaskan rasa marah dan benci kepada Bahia yang masih mematung dan kesadarannya seperti tinggal separuh. Chacha kembali memecah kesunyian malam.

baca novel

“Kau akan menyesal sebab tak dengar cakap kita orang, Danil, dan kau Bahia, start from right now our friendship is over. Aku tak sudi berkawan dengan perempuan yang mulut jahat, perangai macam sial!” sambil menudingkan jari telunjuknya ke wajah Bahia. Melisa juga mengatakan hal yang serupa.

“Kalau aku masih mendengar kau bercakap buruk pasal aku dan Chacha, sampai lubang cacing akan aku akan cari kau. Kau ingat tu!” Bahia memejamkan matanya dan kemudian air matanya mengalir, aku mengerti rasa sakit yang yang sedang dia rasakan sehingga aku juga tak dapat menahan air mataku sendiri. Perbuatan mereka sungguh keterlaluan dan sangat tidak manusiawi. 

Mereka pergi tapi arahnya bukan menuju ke Stasiun MRT Redhill, mereka menuju ke arah jalan raya dan bayangan mereka lalu menghilang setelah menyeberangi jalan. Sementara air mata Bahia mengalir kian deras, kuseka air matanya lalu kudekap dirinya untuk memberinya kekuatan agar dia tabah dan kuat. Suara tangisan Bahia boleh aku dengar dan dia menangis sebebas-bebasnya dalam dekapanku.

“Bahia, don’t forget kau masih ada aku, okey? Air mata kau tak layak untuk mereka,” pujuk Danil sambil mendekap Bahia. Logat Danil yang unik dan kuyakin dia bukan orang Singapura yang Bahasa Melayunya kental, klasik dan mendayu. Bahasa Danil seperti Bahasa Indonesia baku dan kaku. Tapi aku belum pernah bertanya dari mana dia berasal.

“Thank you, Danil. Aku menangis bukan sebab mereka tak nak berkawan dengan aku tapi aku tak pernah dihina dan dikutuk seperti tadi, Kata-kata dia orang yang buat hati aku sedih,” balas Bahia yang pipinya masih bermandikan manik-manik bening.

“Aku paham mereka itu memang melampau. Kalau mereka itu lelaki sudah aku belasah tadi,” sambung Danil dan Bahia memandang ku.

“Miu, kau masih nak berkawan dengan aku, kan?” sebenarnya pertanyaan itu tak perlu Bahia tanyakan tapi aku mengerti keadaannya sekarang yang hampir hilang rasa keyakinan diri setelah dihina dan dikutuk habisan-habisan oleh teman-temannya. Aku tersenyum sambil kupeluk lagi tubuhnya yang besarnya hampir sama dengan tubuhku tapi aku sedikit lebih tinggi.

“Apa pun yang terjadi sekarang atau pun nanti you always be my friend. Kata-kata mungkin tidak sepenting perbuatan kita, Bahia, sebab itulah aku tunjukkan melalui perbuatan yang jauh lebih penting,” kuseka air matanya yang masih mengalir dan kuselipkan rambutnya ke telinga.

“Terima kasih, Miu dan aku nak bagi kau gelaran Miss universe, sebab aku kan Miss world, so biar adil kita sama-sama ada panggilan glamour,” Bahia sudah kembali ke perangai anehnya.

Kata-katanya tadi membuat aku tertawa. Kututup mulutku dengan tangan agar tawaku tidak terlihat berlebihan dalam suasana yang masih syahdu.

Bersambung,

Kembali ke daftar isi baca novel "Tidur Bersama Hujan"