Novel Terbaru Kisah Nyata Tentang Cinta

Berikut adalah kisah novel terbaru tentang cinta yang  diperankan oleh seorang perempuan tangguh bernama Miu. Dia seorang perempuan tegar yang mampu mengatasi setiap rintangan di kota Singapura. Kini dia secara resmi berstatus gelandangan di kota metropolitan tersebut. Seperti apa kelanjutan dari Bab 4 bagian bagian 1 Tentang Dia?

novel indonesia terbaru


Novel Terbaru Bab 4 Bagian 2


“Awak masih kuat untuk berjalan lagi?”

Oh Diaryku, dia begitu perhatian kepadaku. Bagai aku melihat seorang pangeran raja yang hidup di negeri dongeng.

novel terbaru

“Apakah tempat itu masih jauh?” Aku menjawab pertanyaannya tanpa berani menatap matanya.

Tatapannya boleh membangkitkan sel-sel mati di tubuhku. Angin sore yang dingin di Marina Bay Sand seakan-akan tak mampu menyejukkan tubuhku. Aku bagai berdiri di samping bara api yang tengah membara.

Kami terus berjalan melewati Singapore Flyer, Marina Bay Sand, Jambatan Helix kemudian kami berhenti tak jauh dari jembatan tersebut. Kami duduk sambil menikmati pemandangan air sungai Singapura yang ketenangannya menggambarkan suasana di hatiku.


Si jubah hitam sudah mulai menunjukkan kehitamannya, ketika itulah suasana di sekitarku akan menjadi lebih indah lagi. Dari kejauhan Jembatan Helix tampak begitu megah dengan perhiasan lampu warna-warni. Semua objek yang aku lihat bersinar memancarkan cahaya neon.

Oh Diary, suasananya sungguh romantis bagai aku sukar menjelaskannya dengan kata-kata. Ini adalah syurga, dia membawaku ke syurga dan aku sedang merasakan syurga itu semua karena dirinya dan dia adalah manusia yang paling aku cinta. Mungkinkah ini dinamakan cinta pada pandangan pertama?

Diaryku, berjuta kata mungkin tak cukup mengisahkan tentang Faiz. Sebaiknya kugulung layar pelayaranku ke masa lalu dan kembali ke masa kini. Tak terasa rupanya aku sudah sampai di Terminal Bus Boonlay. Semua penumpang harus turun di sini karena Boonlay merupakan stasiun bus terakhir.

Terminal Bus Boonlay berada dalam satu bangunan dengan pusat perbelanjaan, Jurong Point Mall yang merupakan Mall terbesar dan termewah di area Jurong West dan sekitarnnya. Jurong Point Mall diapit oleh dua buah bangunan yang sangat penting, perpustakaan dan Station MRT Boonlay. Tempat di mana aku berada sekarang ini memang benar-benar strategis dan selalu dibanjiri oleh Manusia.

Kaki-kakiku sudah mulai menapak, mencari pintu untuk ke Jurong Point Mall. Dalam beberapa langkah saja aku sudah berada di ambang pintu yang menghadiahkanku sebuah pemandangan terbuka yang menghubungkan Jurong Point Mall dengan Station MRT Boonlay.

Aku sudah tidak sabar untuk menyelesaikan urusanku dengan Kak Eli. Kaki-kaki ini terus bergerak maju dan lama-kelamaan aku pun semakin jauh dari Jurong Point Mall. Setelah menyeberangi jalan raya aku masuk ke area perumahan lalu langkah demi langkah aku menyelusuri di bawah blok sehingga aku terbebas dari sengatan cahaya matahari yang menyengat pada waktu pagi sebegini.

Kini mataku sedang berhadapan dengan Jurong West Secondary School dan di sebelah kirinya ada bangunan rumah flat berwarna merah, di situlah kediaman Kak Eli. Rumah flatnya berada di tingkat empat yang bersebelahan dengan tangga.


Dari posisi aku berdiri sekarang, rumah-rumahan yang ada di playground masih dapat dilihat, tempat aku berteduh dalam beberapa hari kebelakangan ini. Di belakangku juga ada 7Eleven, mini market yang beroperasi selama 24 jam sehari tanpa tutup. Itu adalah mini market tempat aku membeli makanan karena kedudukannya berdekatan dengan tempat tinggalku sekarang. Tak jauh dari sini juga ada kedai kopi yang buka 24 jam tapi aku harus berjalan kurang lebih 3 menit. Akhir-akhir ini aku juga sering mengunakan toilet yang ada di kedai kopi tersebut. Biasanya untuk mencuci muka, menggosok gigi dan melakukan aktivitas seumpamanya.

Sejak aku diusir oleh oleh Kak Serin, hidupku memang berantakkan dan apa pun yang aku lakukan semata-mata hanya untuk bertahan.

Sore ini aku ada janji bertemu dengan Bahia dan Danil di Bugis dan malam ini aku akan ikut mereka ke night club buat yang pertama kalinya. Tak mungkin aku akan pergi menemui mereka sambil mengheret koper pakaian ini dan karena koper ini juga sekolahku terkendala. Ia benar-benar membataskan pergerakkanku. Semoga Kak Eli dapat membantu aku dalam mengatasi hal ini. Aku tidak berharap banyak dariya jika beliau tidak dapat memberikan aku tumpangan namun setidak-tidaknya dia mengizinkan koper ini untuk disimpan di rumahnya. Misi utamaku hari ini adalah menemukan tempat yang selamat untuk barang-barangku.

Gerakkan ku terhenti ketika melihat tangga yang selalu aku gunakan setiap kali berkunjung ke flat Kak Eli. Kian dekat rumah yang dituju maka jantung ini pun kian berpacu laju. Bimbang itu masih ada, kalau-kalau Kak Eli masih terpengaruh dengan fitnah yang diciptakan oleh ibu mertua dan suaminya. Mereka memfitnahku sekeluarga, kononnya kami mengamalkan ilmu hitam untuk mencelakai mereka. Bahkan dulu Kak Eli pernah melarang kami berkunjung ke rumahnya. Itulah antara penyebab aku tak mengunjungi rumahnya selama lebih kurang setahun.

Beberapa kali kuhembuskan napas-napas panjang sambil menunggu pintu lift menganga. Kutekan tombol bernomor 4 dengan perasaan yang gelisah. Aku berada difase yang ‘terdesak.’ Desakan yang membuatku sekarang berdiri di tingkat 4 dan desakan itu juga yang menggerakkan kaki-kaki ini menghampiri bangunan flat paling kanan dari lift dan bersebelahan dengan tangga. Pintu rumah tertutup rapat, itu adalah hal biasa di singapura.

Aku tekan tombol loceng dan sejurus kemudian pintu yang ada di hadapanku pun dibuka. Muncul Kak Eli dengan raut wajah yang masih mengantuk dan tubuhnya masih mengenakan baju tidur biru bercorak batik. Matanya terus tertuju pada beg pakaian aku dan aku rasa dia sudah dapat meneka tujuanku ke rumahnya. Kini kedua-dua tangannya lincah membuka kunci pagar besi, memang semua rumah di sini pintu utamanya dilapisi oleh pagar besi untuk keselamatan.

“Maaf kak, Miu datang tanpa memberitahu kakak terlebih dahulu.”

“Nasib baik Bang Rahim tak ada kat rumah sekarang kalau dia tahu Miu kat sini sudah pasti dia marah besar,” jawaban Kak Eli sedikit melegakan rasa gundah di hati ini.

“So, Miu boleh masuk ke tidak?” tanyaku masih sedikit ragu.

“Masuk, masuk. Kakak berdua saja dengan Arif,” semakin lega hati ini dengan keramahan kak Eli saat menyambut kedatanganku. Ini di luar dugaan!

“Arif mana ya, kak?” Aku sudah tidak sabar melepaskan rindu ini kepadanya.

“Arif! Arif!” Teriak Kak Eli. Baru ku ingat, Kak Eli memang suka berteriak. Dalam keadaan percakapan biasa pun suaranya sudah nyaring seperti orang yang sedang berteriak. Dia adalah yang paling ramah di antara kami empat bersaudara. Ketika berjumpa tetangga di luar dia tidak sekedar menegur mereka namun akan berbual panjang lebar. Karena itu hampir semua tetangga Melayu yang mendiami Blok 326 mengenali Kak Eli. Aku sangat mengagumi sifat ramah Kak Eli yang boleh bergaul dengan siapa saja.

Rumah Kak Eli hampir sama besar dengan rumah Kak Serin, hanya kedudukan ruangnya yang berbeda. Gudangnya ada di bagian kiri pintu masuk dan ruang makan berada di tengah antara dapur dengan ruang tamu. Kamar tidur berhadapan dengan ruang makan yang sebelum ini kosong, sekarang sedang disewakan kepada pekerja asing dari India. Sementara dua kamar tidur yang lain saling bersebelahan dan paling dekat dengan toilet utama.

Kami sedang duduk di kursi kayu jati yang ada di ruang tamu. Sejurus kemudian Arif dengan wajah malu-malu menghampiriku lalu mencium tangan kananku.

“Cu Miu rindu sangat dengan Arif,” aku dekap tubuhnya yang mungil dan kucium pipinya yang bersih mulus.

“Kenapa Cu Miu baru datang?” Dengan sebutan katanya yang masih pelat.

“Pasal Cu Miu busy sangat. Sekarang Cu Miu datang sebab Cu Miu rindu sangat dengan Arif,” air mata kerinduan ini pun tumpah. Sungguh aku gembira karena dapat menyentuh orang yang sangat aku sayang. Sebelum ini Arif sangat dekat denganku jadi pertemuan ini sungguh menyentuh hati sanubari sehingga wajar-wajar saja aku menangis karena bahagia.

“Kenapa Cu Miu menangis?” ternyata Arif sudah besar, dia sudah dapat memahami tangisanku. Kejujurannya benar-benar mententeramkan hati.

“Really, Cu Miu menangis? Tak adalah, mana ada Cu Miu menangis. Cu Miu tak menangislah, tapi Cu Miu happy sangat sebab jumpa Arif. Tengok ini Cu Miu ketawa,” terus aku mengelitik manja tubuhnya dan kami pun tertawa bersama.

Aku meluangkan waktu sebentar bermain bersama Arif. Kami turun ke bawah, bermain di playground yang merupakan tempat tinggalku selama beberapa hari kebelakangan ini. Setelah puas bermain lebih kurang setengah jam kami naik ke atas dengan menggunakan tangga.

Selesai aku mandikan Arif, aku langsung menuju ke toilet untuk membersihkan tubuh dan rambutku yang sudah beberapa hari tidak dibersihkan dengan sempurna. Ketika tubuhku terkena siraman air shower, rasanya sungguh nikmat, itu merupakan permandianku yang paling menyenangkan. Seluruh sel tubuhku kembali bangkit karena hampir seminggu tidak terkena air segar. Rambutku yang sebelumnya berdebu, kusut dan berbau kini baunya sudah harum mewangi, terasa bersih, lembut, mudah disisir dan mampu terurai bebas di udara.

Keluar dari kamar mandi aku melihat Arif sedang tidur lena di depan TV yang sedang menayangkan acara kartun Ben Ten. Aku masuk ke kamar Kak Eli yang sedang duduk di tempat tidur sambil melipat pakaian.

“Duduk kat sini Miu, Kakak nak cakap sesuatu,” aku ikut duduk di sampinya. Aku sudah boleh menebak isi pembicaraannya jadi ku rasa tak perlu lagi bertanya.

“Bukannya Kakak tak nak tumpangkan Miu tinggal kat sini. Miu tahu sendiri yang Bang Rahim pasti tak akan setuju. Ini saja kalau dia tahu Miu datang sudah pasti dia marah besar,” aku juga sudah menebak ayat itu sehingga kata-katanya tidak terlalu menyedihkan saat menyentuh di telinga.

“Miu faham. Hanya Miu mintak tolong kalau semua barang-barang Miu di simpan dalam rumah Kak Eli dulu,” Kak Eli diam sejenak sebelum menanggapi kata-kataku dan keningnya berkerut seperti orang berfikir.

“Kalau macam itu letak saja kat dalam gudang sebab takut Bang Rahim tahu.”

“Baik kak, Miu simpan koper baju itu dulu,” aku langsung menuju ke ruang makan tempat di mana aku meletakkannya. Aku memindahkannya ke dalam gudang yang ukurannya kira-kira 2m x 2m. Gudang-gudang di sini juga berfungsi sebagai tempat berteduh apabila terjadi kebakaran, jadi ia merangkap dua fungsi.
“Miu! Miu! Sinilah,” Kak Eli memanggilku dari kamar tidurnya.

“Sekejap,” aku masih berada di gudang. Ku tutupi koper ini dengan sesuatu agar ia terlindung daripada penglihatan Bang Rahim. Setelah merasa selamat aku pun kembali ke kamar.

“Nak perfume tak? Kakak ada banyak perfume tau. Kawan Bang Rahim beri kakak. Dia dapat dari tempat kerjanya.”

“Perfume?”

“Ya perfume. Minyak wangi. Miu nak minyak wangi apa? Semua ada kat sini. Gucci Rush, Escada, Mount Blank, Boss, Anna Sui. Pilihlah yang mana Miu suka,” semua jenis parfum yang kak Eli sebutkan kini sedang berdiri di atas tempat tidur.

Kucium bau wangian-wangian itu satu demi satu dan hidungku ternyata jatuh cinta dengan wanginya Anna Sui. Baunya seperti sebuah terapi yang mampu mendamaikan pikiran dan hatiku yang sedang dipenuhi oleh berbagai masalah.

“Oh ya Miu, kalau boleh Miu keluar rumah sebelum pukul 6.30 petang sebab orang yang sewa kamar itu balik kerja pukul 7 malam. Takut kalau penyewa itu nanti mengadu dengan Bang Rahim.”

“Okay, Miu nanti keluar rumah pukul 6 petang,” dengan nada suara yang aku usahakan dalam keadaan tenang.

“Malam ini Miu nak tidur kat mana?” aku rasa pertanyaan itu tidak penting untuk ditanyakan sebab mendengarnya saja sudah menghiris hati sanubari. Mengenang nasibku kini hidup di jalanan, kadang kala membuat aku menitiskan air mata. Pertanyaan Kak Eli tak perlu aku jawab dengan jujur karena sudah pasti akan membebankan dirinya sebagai seorang kakak.

“Beberapa hari ini Miu tumpang kat rumah kawan di Queenstown,” aku harus berbohong karena terlalu sedih buatku mengatakan bahwa selama ini aku tidur di luar bertemankan dinginnya angin malam dan hujan.

“Oh, okaylah,” balas Kak Eli. Ketika kedua-dua mataku sudah tak tahan lagi membendung air mata, dengan cepat aku masuk ke kamar mandi yang ada di kamar tidur Kak Eli. Wajahku terlihat begitu lelah di cermin lalu aku pun berbicara dengan diri sendiri.

“Aku tak akan balik ke kampung hanya karena aku tak ada tempat tinggal. Aku harus selesaikan O Levelku dan harus memperjuangkan mimpiku. Balik kampung bukan jalan penyelesaian, seandainya aku pulang maka sia-sia saja perjuanganku selama ini. Lagipula hidup di jalanan membuat aku mengenal banyak hal tentang kehidupan yang selama ini tak pernah aku alami. Aku masih ada Bahia dan Danil yang sudah berjanji kepadaku bahwa mereka akan selalu bersamaku dalam keadaan susah dan senang, jadi tak ada yang perlu dikhawatirkan,” setelah tumpukan air mata yang menjadi beban di mataku sejak tadi kucurahkan sepenuhnya, akhirnya emosiku pun beransur stabil.

Di ruang makan ada Kak Eli sedang menikmati makan siangnya. Dia menawarkanku untuk makan bersama, lalu percakapan kami dilanjutkan di meja makan sambil menikmati makan siang yang menunya udang dimasak kari kering dengan sayur bayam tumis berkuah.

“Dua hari lepas, Kak Serin ada datang kat rumah tau,” Kak Eli memulai pembicaraan terlebih dahulu.

“Dia ada cakap apa-apa tentang Miu?”

“Dia cakap dia halau Miu sebab dia takut Miu nak cederakan dia. Dia curiga dengan Miu sebab selama ini Miu yang sudah buat hidup dia sengsara. Kakak tengok dia macam tak betul saja. Dia betul-betul dah berubah. Badan dia kurus, rambut kusut tak terurus. Miu tahu apa yang telah terjadi dengan dia?”

“Entahlah, Miu tak tahu apa yang telah terjadi dengan dia. Akhir-akhir ini dia banyak berhalusinasi dan menuduh Miu yang bukan-bukan. Kakak percaya apa yang dia cakap?”

“Cakap dia saja sudah tak betul tak akan kakak boleh percaya. Lepas tu dia minta duit 30 dollar dan kakak bagi sebab kakak tak sampai hati tengok dia macam itu.”

“Dia datang seorang aja ke?”

“Tak, dia datang dengan boyfriendnya. Kalau Miu tengok mesti terkejut, badan boyfriend dia penuh tatoo. Jujur kakak tak suka.”

“Firasat Miu mengatakan bahwa boyfriend dia itu yang telah buat dia berubah macam itu. Kakak tak tanya keadaan Lala?”

“Dia cakap Lala sekarang mak yang jaga kat rumah si Eni,” Eni ialah kakakku yang paling tua. Aku bisa maklum sebab Kak Eli enggan memanggil Kak Eni dengan sopan. Karena ada kesalahpahaman di antara mereka.

Permusuhan di antara mereka berdua membuatku sadar bahwa orang-orang di sini tidak boleh dipisahkan dengan amalan perdukunan. Sakit sediki saja akan mengadu ke dukun dan selalunya dukun yang mereka temui akan mengatakan bahwa mereka terkena buatan orang dan orang yang selalu dituduh biasanya adalah kerabat atau saudara mereka sendiri. Maka, terlalu mudah untuk orang di sini memutuskan tali silaturahim hanya karena percaya akan apa yang dikatakan oleh dukun mereka.

Hidup di Singapura memang tidak boleh lari dengan dunia perdukunan. Suami Kak Eli kalau sakit sedikit pun pasti akan menuduh orang-orang di sekelilingnya. Aku berpendapat seperti itu karena aku dan keluarga pernah menjadi korban fitnah mereka. Itu adalah alasan terbesar sebab kedatangan ku ke rumah Kak Eli harus dirahasiakan daripada suaminya. Begitu juga dengan kedua kakakku, permusuhan mereka sehingga melibatkan dukun dan akhirnya sekarang mereka saling menuduh dan rasanya permusuhan mereka susah untuk menemukan jalan damai. Jadi tidak  mengherankan kalau dunia dukun di Singapura jauh lebih populer dibandingkan di kampungku.

“Oh syukurlah Lala dalam keadaan selamat. Miu betul-betul tak tenang bila keluar dari rumah sebab risau sangat dengan Lala. Kakak tahu tak apa sebenarnya sudah terjadi dengan Kak Serin?” Kak Eli segera menatap mataku, hening sejenak sebelum ia menjawabnya.

“Dia ambil drug. Kakak mengetahuinya sebab kakak terbaca SMS di handphonenya dan dia pun sudah mengaku kalau dia memang ambil drug,” spontan air mataku ini tumpah. Kak Serin betul-betul dalam keadaan bahaya dan beliau sangat memerlukan dukungan keluarga. Dari hati yang paling dalam ingin sekali membantunya tapi bagaimana aku dapat menolongnya jika dia sendiri takut kepadaku. Pikiran ini terus bekerja memikirkan nasib Lala. Bagaimana dengan masa depan Lala? Siapa yang akan merawat Lala? Masalahku semakin bertambah dan aku rasakan beban yang ada di bahu kini terasa bertambah berat.

Selesai mencuci piring, aku masuk ke kamar Arif yang letaknya bersebelahan dengan kamar mamanya. Kamarnya terasa adem karena dari tingkap kamarnya aku boleh melihat pohon-pohon berdaun hijau tumbuh subur tepat di sebelahnya. Ada tempat tidur bujangan dan di sebelahnya almari pakaian yang pintunya memiliki cermin untuk berdandan. Aku melihat wajahku di cermin lalu berbicara dengan bayanganku sendiri.

“Keluargaku sudah terpecah-belah. Kak Eni dan Kak Eli sudah hampir 4 tahun bermusuhan malah hubungan mereka semakin memburuk. Kalau tidak karena kata-kata dukun dan juga campur tangan suami mereka, pasti hubungan mereka tidak akan separah seperti sekarang. Sementara Kak Serin juga menimbulkan masalah besar dengan kondisinya yang separuh waras disebabkan narkoba. Aku sangat bimbang dengannya dan lebih bimbang lagi dengan Lala. Sedang aku sendiri adalah perempuan gelandangan yang hampir tiap malam harus tidur bersama embun, angin malam dan kadang-kadang bersama hujan. Sia-sia saja aku ada tiga orang kakak perempuan di sini tapi tak seorang pun daripada mereka yang rela menumpangkanku untuk tinggal. Miu, hidupku sekarang benar-benar penuh dengan tantangan dan sangat berbeda dengan kehidupanku dulu yang sangat membosankan karena setiap harinya melakukan hal yang sama. Aku rasa kehidupan aku yang kini jauh lebih mengasyikkan.”

Aku sudah tidak sabar lagi untuk menjinakkan mata karena hanya dengan tidur, beban-beban ini akan dibebaskan sejenak. Setelah aku tetapkan alarm pada pukul 5 sore di handphone, aku langsung merebahkan tubuhku di kasur bujangannya Arif.

Rasanya sungguh nyaman ketika kepalaku menyentuh bantal dan kedua-dua kaki dan tangan ini memeluk bantal guling karena selama beberapa hari kebelakangan ini aku tidur beralaskan lantai rumah-rumahan di playground yang keras.


Dalam waktu yang singkat mataku sudah enggan untuk dibuka. Sedikit demi sedikit kesedaran ini pergi sehingga akhirnya aku sudah tak ingat apa-apa lagi. Kini diri ini bertamu di alam mimpi selama lebih kurang 3 jam karena pukul 6 petang nanti aku harus keluar dari rumah menuju ke Bugis untuk menemui dua sahabat baruku, Bahia dan Danil.

Bersambung,

Kembali ke daftar isi dari novel terbaru Tidur Bersama Hujan.